Apa kabar? Jangan lupa untuk senyum dan bahagia ya :)
Pagi itu saya menerima berita duka meninggalnya ayah Rahayu, innalillahi wa innailaihirojiuuun... Kabar ayahnya sakit sudah lama kami dengar, sempat ingin menjenguknya ketika tour de Batam, tapi belum kesampaian. Awal April 2012 saya terima sms. Setelah berpikir beberapa orang ikhwan saya smsi termasuk Usup, adik saya. Ngajakin mereka untuk pergi melayat ke rumah Ayu yang letaknya di Pulau Numbing.
Saya tak meng-sms akhwat karena saya pikir ini jam kerja, dan kurang yakin mereka bisa ikut karena lokasinya cukup jauh.
Pukul 10.30 WIB sudah ada yang mengkonfirmasi dan setuju untuk pergi bareng dan ketemuan di pelabuhan Barek Motor, Kijang. Saya, Usup, Yasril, Wira, Apriandi dan Hatta. Kami naik kapal kayu tanpa tahu apa itu pulau Numbing. Ongkos kapalnya Rp. 10.000,- dan lama perjalanannya bikin kami melongo, yaitu hampir 1 jam. Wah ini udah sama kayak ke Batam. Kami berangkat sekitar pukul 12 siang, tepat sebelum azan Zuhur.
Ini pertama kalinya kami berempat pergi ke Numbing. Selain Ayu, kader KAMMI yang juga berasal dari sini adalah Heryandi. Dalam perjalanan, saya rasa ombaknya tidak terlalu besar karena kapal bergerak biasa. Tidak seperti yang saya alami saat ke Pangkil, beberapa ibu hampir copot jantungnya karena kapal meloncat cukup tinggi karena ombak dan air sempat masuk.
Satu jam kemudian kami tiba di Numbing, waaah banyak juga rumah di tepi pulau dan tepat di atas laut. Nampaknya anak - anak di sini sering mandi di laut, senangnyaaaa....
Saya kira tempat kapal berhenti adalah pelabuhan, ternyata itu adalah rumah penduduk, tepatnya kedai Cina yang rupanya biasa digunakan sebagai tempat lalu lalang orang yang baru datang. Pelabuhan lainnya tak jauh dari sana, mungkin karena di sini sekalian menurunkan barang - barang dagangan.
Hujan turun dengan lebat sekali hingga kami tak bisa langsung pergi ke rumah Ayu, mesti berteduh sejenak di depan kedai tadi. Beberapa orang juga ikut berteduh dengan kami. Karena saya perempuan sendiri, saya mengambil tempat berteduh agak jauh dari anak laki - laki. Pengennya gabung tapi tempatnya kecil sekali -_- jadilah selama hampir 15 menit saya bengong sendirian sementara mereka ketawa - ketawa di sana.
Begitu hujan perlahan menjadi gerimis, kami pun melangkah menuju rumah Ayu yang ternyata tak jauh dari pelabuhan. Jalanannya bersih, dekat laut ada beberapa kapal kayu dan sampan milih warga yang ditambatkan.
Saya sempat bertanya pada salah seorang warga, jam berapa kapal terakhir menuju Kijang.
"Waah tadi siang itu kapal terakhir, ke Kijang lagi besok pagi sekitar jam 7"
Seketika saya beku di tempat dan berpandangan dengan anak - anak itu dengan ekspresi terkejut kami masing - masing.
Tapi karena rumah ayu sudah kelihatan, kami simpan dulu masalah tersebut. Saya lihat ada banyak orang di rumah ayu. Seperti biasa ada kursi untuk para pelayat. Begitu tiba di sana, kami berpisah. Usup, Yasril, Apriandi, Wira dan Hatta bergabung dengan para lelaki dan saya menuju pintu belakang. Ah, di sanalah baru saya mengutuk diri kenapa tak mengajak teman perempuan.
Apa yang harus saya lakukan? Saya tak berpengalaman dan sangat kaku untuk menghibur seseorang ataupun berbaur dengan orang - orang. Ya sudahlah, sudah sampai di sini mau apalagi.
Ketika bertemu Ayu, saya jadi ingat Widya di hari ibunya meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu. Saya akui, kedua orang ini sangat tegar di hari meninggalnya orang tua mereka. Air matanya seolah - olah sudah kering, yaa benar - benar kering, hanya meninggalkan merah bekas menangis.
Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan, janji Allah bagi orang - orang yang tertimpa musibah.
Di dalam rumah, saya duduk sebentar dan ngobrol dengan beberapa tetangga. Ayah ayu meninggal karena sakit. Yaaa kami dengar kabar ayahnya dirawat di Batam, saya rasa cukup lama juga. Semoga amalan beliau diterima Allah SWT serta anak dan istrinya senantiasa mengirim doa.
Kami sempat sholat di salah satu mesjid di pulau itu. Kecil dan bersih. Sebelum menuju pelabuhan, kami sempatkan mengambil jalan mengitari lingkungan pulau Numbing. Waah ada pabrik karet rupanya di sini, para pekerja pabrik diberi lingkungan tersendiri. Lingkungannya apik, masih teduh dan banyak pohon yang rimbun.
Karena sudah sore, kami pun berjalan menuju pelabuhan sembari ngobrol satu sama lain. Kadang mereka bikin tingkah yang sukses bikin saya tertawa. Tiba di pelabuhan, betul betul kosong. Tak ada seorang pun yang berdiri di sana. Duh!
Kami baru ingat kalo sore itu tidak akan ada kapal ke Kijang. Dengan sikap optimis kami mengiyakan informasi dari warga dan duduk di pelabuhan sambil menunggu kapal yang lewat, mana tahu bisa kami tumpangi.
Harap harap cemas kami duduk santai di bangku - bangku semen sambil memicingkan mata mengawasi laut dengan harapan ada kapal lewat. Tiba - tiba dari arah yang berlawanan dengan kami datang tadi, lewatlah sebuah kapal kayu yang lebih kecil dari yang kami tumpangi sebelumnya. Secara otommatis kami pun berdiri dan salah satu dari kami melambai pada bapak - bapak itu.
Betapa kecewanya kami ketika tahu bahwa beliau adalah warga pulau seberang yang baru saja akan pulau -_- kami pun duduk kembali. Huft....
Selagi menunggu ada saja hal - hal yang kami lakukan. Sebenarnya saya lebih memperhatikan apa yang anak - anak itu lakukan. Saya pikir, ada banyak momen di mana hanya saya sendiri perempuan di mana yang lainnya laki - laki, tapi kali ini sedikit berbeda.
Kami membicarakan hal - hal aneh. Tentang diri masing - masing, tentang kampus, tentang teman lain, keluarga dan hal - hal menarik. Sering kali saya tertawa mendengar lelucon mereka. Melalui percakapan - percakapan itu saya sedikitnya mulai mengenal anak - anak itu.
Saya baru tahu kalau Hatta punya adik perempuan yang kuliah di Jakarta. Kenapa? Ahahaha itu karena dia menelpon adiknya di depan kami. Karena bosan menunggu, Hatta mulai bertanya siapa yang punya pulsa atau bonus telpon lebih. Yang beruntung adalah Yasril. Cukup lama juga hape Yasril dipakai untuk menelpon adiknya itu.
Hatta mulai memarahi adiknya supaya baik - baik di sana dan menyuruhnya untuk masuk KAMMI. Sayang, di kampus adiknya KAMMI tidak diperkenankan karena sudah ada Muhammadiyah di sana. Yaa tidak apa - apa yang penting baik dan tidak menyesatkan.
Tak terasa hari sudah semakin sore, kami mulai galau akan ketiadaan kapal yang benar - benar tidak ada. Kata salah seorang warga mungkin kami bisa pulang dengan memakai kapal carteran seharga Rp. 300.000,-. Mendengar harga itu saya sudah sangat nyerah karena memang hanya membawa uang seadanya.
Sampai Maghrib tiba kami masih belum beranjak dari pelabuhan. Nampaknya anak - anak ini pun tak bawa uang. Hhhh kami pikir ke Numbing sama dengan ke Penyengat. Modal 10,000 sudah bisa pulang, ternyata kami salah.
Kami semakin grasa grusu. Mau pulang ga ada kapal, ga ada uang. Masak mau nginap di rumah ayu. Orang lagi ketimpa musibah masak kami harus merepotkan dengan menginap di sana. Hatta juga bertekad sekali untuk pulang karena besok dia ada ujian. Beuh anak ini pengen pulang tapi dia tak bawa duit -_- Begitu pula Apriandi, WIra dan Yasril. Usup kayaknya santai - santai aja.
Daaaaaaaan pertolongan pun datang. Taraaaaaaa......
Sekitar pukul 7 malam, datanglah seorang laki - laki keturunan Cina dengan motor beatnya. Bruummmmm ia parkirkan motor tepat di tepi pelabuhan. Kemudian dia duduk bersama kami. Rupanya bapak ini juga ingin ke Kijang. Wah, sama ini. Saya harap ada kapal yang mau mengantar kami dengan ongkos terjangkau. Lumayan kan 7 orang dan 1 motor.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Muka kami begitu sumringah saat ada warga yang bersedia mengantar dengan pompongnya dengan ongkos sekitar 250-300 ribu rupiah. Langsung saja kami merogoh kocek dalam - dalam.
Karena si bapak Cina bawa motor beliau bersedia untuk membayar lebih dan kami membayar sisanya dibagi untuk 6 orang. Lumayan. Yang paling banyak membawa uang saat itu adalah Wira sekitar 100,000,- duh memang kami ini kocek mahasiswa. Apriandi sendiri mengeluh karena ia tadi tak sempat narik uang di ATM. Yaaa kan ga ada yang nyangka bakal gini jadinya.
Tiba - tiba ayu datang bersama abang dan beberapa sepupunya ke pelabuhan. Mereka meminta kami untuk menginap. Tapi karena sudah dapat kapal kami pun menolaknya. Meski demikian, ayu minta kami balik lagi ke rumah untuk makan malam dulu.
Aduuuuh malunya kami pada saat itu. Mau melayat eeeh malah ngerepotin yang dilayat. Akhirnya kami pun balik lagi ke rumah ayu dan makan di sana. Sungguh, ketika itu saya benar - benar malu, anak - anak itu pun begitu. Tapi tampaknya hilang karena perut yang memang sangat kelaparan karena kami juga tak makan siang. Krrriiiiiuuukkkk.....
Selepas isya pemilik kapal, oke ga pantes saya sebut kapal karena ini sebenarnya adalah POMPONG, sudah siap untuk mengantar kami pulang. Sebelum pulang kami berpamitan pada ayu dan keluarganya. Di pelabuhan, saat bersalaman dengan ayu tiba - tiba dia menyelipkan uang kertas ke tangan saya sejumlah 250ribu. Aaaaaaaakkkkk tolooooooong, kami sungguh malu.
Saya bersikeras menolaknya karena kami tak ingin membebani keluarga yang sedang kena musibah. Tapi ayu pun bersikeras memberikannya dengan alasan mana tau kami butuh biaya tambahan untuk pompong. Karena dikatakan begitu saya terima uangnya karena kami memang sudah tidak punya uang lagi sepeser pun -_-
Saat saya beritahu anak - anak lain tentang uang itu, "Yaaa macam mana lagi, Kak" Sesampai di Pinang saya bertekad akan mengembalikan uang itu. Dan memang kami sama sekali tak memakainya. Uangnya pun sudah saya kembalikan.
Sekitar pukul 8 malam kami bertolak ke pelabuhan Barek Motor, Kijang. Ou maaaan, ini benar - benar menegangkan. Pompong yang kami tumpangi benar - benar kecil dan tanpa atap. Layak saya sebut ini sampan dengan mesin kecil di belakangnya.
Malam itu kami pulang mengarungi lautan. Saya merasa ini sungguh mengerikan karena jika kami tenggelam atau kapal terbalik entah siapa yang akan menolong.
Tapi ternyata perasaan itu hanya sebentar. Belum setengah perjalanan kami mulai menikmati angin laut yang langsung kami rasakan. Melihat langit dari tengah laut dan pulau - pulau di sekitarnya serta beberapa kapal barang dan lainnya. Masya Allah momen itu begitu menyenangkan dan saya mensyukurinya.
Saya diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan dengan anak - anak ini, mengenal mereka, menjejaki pulau Numbing, naik sampan malam - malam, merasakan pertolongan Allah dan berkenalan dengan bapak cina yang menyenangkan.
Alhamdulillah malam itu angin tidak nakal sehingga sampan kami bergerak tanpa menghadapi ombak tinggi. Sekitar pukul 9 kami sampai di Kijang dan kembali bersyukur bahwa motor yang kami parkir (sembarangan) masih ada di tempatnya utuh bersama helm.
Dalam perjalanan pulang ke Tanjungpinang, bapak Cina menunjukkan rumahnya pada kami, tepat di tepi jalan. Beliau mengajak kami untuk singgah, tapi karena sudah malam dengan berat hati kami tak bisa mampir dan meneruskan perjalanan ke Tanjungpinang.
Saya tak menceritakan perjalanan ini ke ibu sesegara mungkin karena khawatir besok - besok kami tak boleh lagi ke mana - mana. Tapi cerita ini sudah saya ceritakan dan ekspresinya hanya datar hahahha....
Alhamdulillah, sampai jumpa di perjalanan berikutnya.
Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan, janji Allah bagi orang - orang yang tertimpa musibah.
Di dalam rumah, saya duduk sebentar dan ngobrol dengan beberapa tetangga. Ayah ayu meninggal karena sakit. Yaaa kami dengar kabar ayahnya dirawat di Batam, saya rasa cukup lama juga. Semoga amalan beliau diterima Allah SWT serta anak dan istrinya senantiasa mengirim doa.
Kami sempat sholat di salah satu mesjid di pulau itu. Kecil dan bersih. Sebelum menuju pelabuhan, kami sempatkan mengambil jalan mengitari lingkungan pulau Numbing. Waah ada pabrik karet rupanya di sini, para pekerja pabrik diberi lingkungan tersendiri. Lingkungannya apik, masih teduh dan banyak pohon yang rimbun.
Karena sudah sore, kami pun berjalan menuju pelabuhan sembari ngobrol satu sama lain. Kadang mereka bikin tingkah yang sukses bikin saya tertawa. Tiba di pelabuhan, betul betul kosong. Tak ada seorang pun yang berdiri di sana. Duh!
Kami baru ingat kalo sore itu tidak akan ada kapal ke Kijang. Dengan sikap optimis kami mengiyakan informasi dari warga dan duduk di pelabuhan sambil menunggu kapal yang lewat, mana tahu bisa kami tumpangi.
Harap harap cemas kami duduk santai di bangku - bangku semen sambil memicingkan mata mengawasi laut dengan harapan ada kapal lewat. Tiba - tiba dari arah yang berlawanan dengan kami datang tadi, lewatlah sebuah kapal kayu yang lebih kecil dari yang kami tumpangi sebelumnya. Secara otommatis kami pun berdiri dan salah satu dari kami melambai pada bapak - bapak itu.
Betapa kecewanya kami ketika tahu bahwa beliau adalah warga pulau seberang yang baru saja akan pulau -_- kami pun duduk kembali. Huft....
Selagi menunggu ada saja hal - hal yang kami lakukan. Sebenarnya saya lebih memperhatikan apa yang anak - anak itu lakukan. Saya pikir, ada banyak momen di mana hanya saya sendiri perempuan di mana yang lainnya laki - laki, tapi kali ini sedikit berbeda.
Kami membicarakan hal - hal aneh. Tentang diri masing - masing, tentang kampus, tentang teman lain, keluarga dan hal - hal menarik. Sering kali saya tertawa mendengar lelucon mereka. Melalui percakapan - percakapan itu saya sedikitnya mulai mengenal anak - anak itu.
Saya baru tahu kalau Hatta punya adik perempuan yang kuliah di Jakarta. Kenapa? Ahahaha itu karena dia menelpon adiknya di depan kami. Karena bosan menunggu, Hatta mulai bertanya siapa yang punya pulsa atau bonus telpon lebih. Yang beruntung adalah Yasril. Cukup lama juga hape Yasril dipakai untuk menelpon adiknya itu.
Hatta mulai memarahi adiknya supaya baik - baik di sana dan menyuruhnya untuk masuk KAMMI. Sayang, di kampus adiknya KAMMI tidak diperkenankan karena sudah ada Muhammadiyah di sana. Yaa tidak apa - apa yang penting baik dan tidak menyesatkan.
Tak terasa hari sudah semakin sore, kami mulai galau akan ketiadaan kapal yang benar - benar tidak ada. Kata salah seorang warga mungkin kami bisa pulang dengan memakai kapal carteran seharga Rp. 300.000,-. Mendengar harga itu saya sudah sangat nyerah karena memang hanya membawa uang seadanya.
Sampai Maghrib tiba kami masih belum beranjak dari pelabuhan. Nampaknya anak - anak ini pun tak bawa uang. Hhhh kami pikir ke Numbing sama dengan ke Penyengat. Modal 10,000 sudah bisa pulang, ternyata kami salah.
Kami semakin grasa grusu. Mau pulang ga ada kapal, ga ada uang. Masak mau nginap di rumah ayu. Orang lagi ketimpa musibah masak kami harus merepotkan dengan menginap di sana. Hatta juga bertekad sekali untuk pulang karena besok dia ada ujian. Beuh anak ini pengen pulang tapi dia tak bawa duit -_- Begitu pula Apriandi, WIra dan Yasril. Usup kayaknya santai - santai aja.
Daaaaaaaan pertolongan pun datang. Taraaaaaaa......
Sekitar pukul 7 malam, datanglah seorang laki - laki keturunan Cina dengan motor beatnya. Bruummmmm ia parkirkan motor tepat di tepi pelabuhan. Kemudian dia duduk bersama kami. Rupanya bapak ini juga ingin ke Kijang. Wah, sama ini. Saya harap ada kapal yang mau mengantar kami dengan ongkos terjangkau. Lumayan kan 7 orang dan 1 motor.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Muka kami begitu sumringah saat ada warga yang bersedia mengantar dengan pompongnya dengan ongkos sekitar 250-300 ribu rupiah. Langsung saja kami merogoh kocek dalam - dalam.
Karena si bapak Cina bawa motor beliau bersedia untuk membayar lebih dan kami membayar sisanya dibagi untuk 6 orang. Lumayan. Yang paling banyak membawa uang saat itu adalah Wira sekitar 100,000,- duh memang kami ini kocek mahasiswa. Apriandi sendiri mengeluh karena ia tadi tak sempat narik uang di ATM. Yaaa kan ga ada yang nyangka bakal gini jadinya.
Tiba - tiba ayu datang bersama abang dan beberapa sepupunya ke pelabuhan. Mereka meminta kami untuk menginap. Tapi karena sudah dapat kapal kami pun menolaknya. Meski demikian, ayu minta kami balik lagi ke rumah untuk makan malam dulu.
Aduuuuh malunya kami pada saat itu. Mau melayat eeeh malah ngerepotin yang dilayat. Akhirnya kami pun balik lagi ke rumah ayu dan makan di sana. Sungguh, ketika itu saya benar - benar malu, anak - anak itu pun begitu. Tapi tampaknya hilang karena perut yang memang sangat kelaparan karena kami juga tak makan siang. Krrriiiiiuuukkkk.....
Selepas isya pemilik kapal, oke ga pantes saya sebut kapal karena ini sebenarnya adalah POMPONG, sudah siap untuk mengantar kami pulang. Sebelum pulang kami berpamitan pada ayu dan keluarganya. Di pelabuhan, saat bersalaman dengan ayu tiba - tiba dia menyelipkan uang kertas ke tangan saya sejumlah 250ribu. Aaaaaaaakkkkk tolooooooong, kami sungguh malu.
Saya bersikeras menolaknya karena kami tak ingin membebani keluarga yang sedang kena musibah. Tapi ayu pun bersikeras memberikannya dengan alasan mana tau kami butuh biaya tambahan untuk pompong. Karena dikatakan begitu saya terima uangnya karena kami memang sudah tidak punya uang lagi sepeser pun -_-
Saat saya beritahu anak - anak lain tentang uang itu, "Yaaa macam mana lagi, Kak" Sesampai di Pinang saya bertekad akan mengembalikan uang itu. Dan memang kami sama sekali tak memakainya. Uangnya pun sudah saya kembalikan.
Sekitar pukul 8 malam kami bertolak ke pelabuhan Barek Motor, Kijang. Ou maaaan, ini benar - benar menegangkan. Pompong yang kami tumpangi benar - benar kecil dan tanpa atap. Layak saya sebut ini sampan dengan mesin kecil di belakangnya.
Malam itu kami pulang mengarungi lautan. Saya merasa ini sungguh mengerikan karena jika kami tenggelam atau kapal terbalik entah siapa yang akan menolong.
Tapi ternyata perasaan itu hanya sebentar. Belum setengah perjalanan kami mulai menikmati angin laut yang langsung kami rasakan. Melihat langit dari tengah laut dan pulau - pulau di sekitarnya serta beberapa kapal barang dan lainnya. Masya Allah momen itu begitu menyenangkan dan saya mensyukurinya.
Saya diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan dengan anak - anak ini, mengenal mereka, menjejaki pulau Numbing, naik sampan malam - malam, merasakan pertolongan Allah dan berkenalan dengan bapak cina yang menyenangkan.
Alhamdulillah malam itu angin tidak nakal sehingga sampan kami bergerak tanpa menghadapi ombak tinggi. Sekitar pukul 9 kami sampai di Kijang dan kembali bersyukur bahwa motor yang kami parkir (sembarangan) masih ada di tempatnya utuh bersama helm.
Dalam perjalanan pulang ke Tanjungpinang, bapak Cina menunjukkan rumahnya pada kami, tepat di tepi jalan. Beliau mengajak kami untuk singgah, tapi karena sudah malam dengan berat hati kami tak bisa mampir dan meneruskan perjalanan ke Tanjungpinang.
Saya tak menceritakan perjalanan ini ke ibu sesegara mungkin karena khawatir besok - besok kami tak boleh lagi ke mana - mana. Tapi cerita ini sudah saya ceritakan dan ekspresinya hanya datar hahahha....
Alhamdulillah, sampai jumpa di perjalanan berikutnya.
No comments:
Post a Comment