Saturday 29 December 2012

Pilar Kemenangan

Judul kajian AB2 pagi ini mengingatkan pada buku yang baru saja dibeli saat berkesempatan sekali lagi mengunjungi UI Depok beberapa waktu lalu. 

Buku tersebut ditulis oleh Prof. dr. Abdul Hamid al Ghazali dengan judul Pilar - Pilar Kebangkitan Umat (Intisari  Buku Majmu'atur Rasail). Kebetulan pagi ini kami mengkaji hal yang tak jauh dari isi buku ini meskipun belum sempat dibaca.

Setelah menunggu teman - teman yang sedikit terlambat, kajian subuh ini pun dimulai. 

Kemenangan fikrah Islam hanya dapat dicapai dengan 4 syarat sebagai berikut :
1. Al Iman
2. Al Ikhlas
3. Hamasah (semangat)
4. Al Amal

#insya Allah akan dilanjutkan catatan ini

Saturday 22 December 2012

Keputusan

Bismillah....

Kuputuskan untuk menunda menyusun skripsi tahun depan. 

Semoga ini adalah keputusan yang benar, meskipun banyak yang bertanya dan menyayangkan kenapa aku harus menunda satu tahun padahal masih ada kesempatan untuk mengurus proposal penelitian. 

Lalu ada yang berkata, menunda kelulusan artinya menunda pernikahan. 
Bagiku, Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hambaNya. Dalam hati kecil ada keinginan untuk segera menikah (lah, siapa yang ingin berlama - lama untuk beribadah?)

Usaha? Insya Allah ada, tapi mungkin belum nemu yang cocok... Bantuan sudah disebar ke sana kemari, baik melalui keluarga, adik, sepupu, teman seperjuangan, teman kuliah bahkan binaan pun ikut mencarikan hehehe.... Toh namanya juga usaha...

Doa? Aku sadar lantunan doa mungkin belum maksimal. Yang penting luruskan niat, itu yang dikatakan oleh seorang teman suatu hari ketika ia menawarkan untuk jadi penghubung. Ah, semoga berhasil :)

Oh ya, tentang kuliah. Kuliah memang amanah orang tua, siapa pun tahu dan menyadari. 
Aku bukan mencoba untuk berhenti kuliah, hanya menunda. Tentu sudah mengkomunikasikan dengan orang tua sebaik mungkin. Semoga ayah dan ibu mengikhlaskan keputusan ini dan senantiasa mendoakan agar kehidupanku berjalan lancar dan selalu diberi kemudahan oleh Allah SWT

Lalu setahun menganggur, apa yang akan kulakukan? Insya Allah banyak hal dan tak boleh kubiarkan seperti tahun lalu yang mungkin banyak kelalaian....

#berusaha untuk selalu jadi baik  dan tersesat di jalan yang benar

Friday 14 December 2012

Tarbiyah Dzatiyah

Bismillah...
*Saya mengingatkan diri sendiri

Semoga ini bermanfaat dalam memahami isi buku. Saya tidak sedang menceritakan kembali isi dari buku berwarna kuning ini, namun saya berharap dengan menuliskan daftar isi dan beberapa hal penting lainnya bisa memudahkan kita untuk memahami isi buku. Insya Allah jika ada kesempatan dan kesehatan, saya akan mengupas sedikit isi buku ini dan melampirkan beberapa poin penting di dalamnya.

Judul asli : At Tarbiyah Adz Dzatiyah Ma'alim wa Taujihat
Penulis   : Abdullah bin Abdul Aziz Al Aidan
Penerjemah : Fadhli Bahri, Lc

DAFTAR ISI


1.      Definisi Tarbiyah Dzatiyah
2.      Urgensi Tarbiyah Dzatiyah
a.       Menjaga diri mesti didahulukan daripada menjaga orang lain
b.      Jika anda tidak mentarbiyah (membina) diri anda, siapa yang akan mentarbiyah anda?
c.       Hisab kelak bersifat individual
d.      Tarbiyah dzatiyah itu lebih mampu mengadakan perubahan
e.       Tarbiyah dzatiyah adalah sarana tsabat (tegar) dan istiqomah
f.       Sarana dakwah yang paling kuat
g.      Cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada
h.      Karena keistimewaan tarbiyah dzatiyah
3.      Sebab – Sebab Ketidakpedulian Kepada Tarbiyah Dzatiyah
a.       Minimnya ilmu
b.      Ketidakjelasan sasaran dan tujuan
c.       Lengket dengan dunia
d.      Pemahaman yang salah tentang tarbiyah
e.       Minimnya basis tarbiyah
f.       Langkanya murobbi (Pembina)
g.      Perasaan dan panjangnya angan – angan
4.      Sarana – Sarang Tarbiyah Dzatiyah
a.       Sarana Pertama : Muhasabah
-          Urgensi muhasabah
-          Skala prioritas yang penting
-          Jenis – jenis muhasabah
-          Muhasabah atas waktu
-          Ingat hisab terbesar
b.      Sarana Kedua : Taubat dari Segala Dosa
-          Hakikat dosa
-          Syarat – syarat taubat
-          Semua dosa itu kesalahan
-          Hukuman di dunia
-          Di antara trik jiwa kita
c.       Sarana Ketiga : Mencari Ilmu dan Memperluas Wawasan
d.      Sarana Keempat : Mengerjakan amalan – aman iman
-          Mengerjakan ibadah wajib seoptimal mungkin
-          Meningkatkan porsi ibadah – ibadah sunnah
-          Peduli dengan ibadah dzikir
Beberapa hal yang terkait dengan sarana keempat :
-          Urgensi shalat lima waktu
-          Antara ibadah dengan adat istiadat
-          Ilmu pengetahuan tidak cukup
-          Kita tidak lupa dzikir kepada Allah
-          Memanfaatkan sebaik mungkin saat – saat rajin
-          Waktu – waktu dan tempat – tempat mulia
-          Urgensi tawazun (seimbang)
e.       Sarana Kelima : Memperlihatkan Aspek Akhlak (Moral)
-          Sabar
-          Membersihkan hati dari akhlak tercela
-          Meningkatkan kualitas akhlak
-          Bergaul dengan orang – orang yang berakhlak mulia
-          Memperhatikan etika – etika umum
f.       Sarana Keenam : Terlibat dalam Aktivitas Dakwah
-          Merasakan kewajiban dakwah
-          Menggunakan setiap kesempatan untuk berdakwah
-          Terus menerus dan tidak berhenti di tengah jalan
-          Pintu – pintu dakwah itu banyak
-          Kerjasama dengan pihak lain
g.      Sarana Ketujuh : Mujahadah (Jihad)
-          Sabar adalah bekal mujahadah
-          Sumber keinginan
-          Bertahap dalam melakukan mujahadah
-          Jadilah orang yang tidak lalai
-          Siapa yang mengambil manfaat dari mujahah?
h.      Sarana Kedelapan : Berdoa dengan Jujur kepada Allah Ta’ala
-          Kebutuhan kita kepada doa
-          Waktu – waktu dan tempat – tempat terkabulnya doa
-          Syarat – syarat doa
-          Jangan minta doa dikabulkan dengan segera
-          Bermanfaatlah untuk anda dan orang lain
5.      Buah Tarbiyah Dzatiyah
a.       Mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala dan surgaNya
b.      Bahagia dan tentram
c.       Cintai dan diterima Allah
d.      Sukses
e.       Terjaga dari keburukan dan hal – hal tidak mengenakkan
f.       Keberkahan waktu dan harta
g.      Sabar atas penderitaan dan semua kondisi
h.      Jiwa merasa aman


#always trying to be the better one

Tuesday 11 December 2012

Hakekat Pelajar : baca pikir dan tulis


Refleksi bodoh saya kembali mengatakan bahwa semangat pembelajar inilah yang perlu di bangun oleh seorang pelajar. menikmati setiap bacaan yang mengantri untuk di baca. menyelami dengan bahagia setiap analisa yang mengawang-awang, dan mendalami dengan suka cita setiap tulisan yang ditorehkan.
bukankah itu hakekat pembelajar ? membaca, berpikir, dan menulis

yah percuma kamu pintar tetapi tidak ada tulisan yang kamu keluarkan, intelektual mu hanya menjadi budak akan pikiran mu, dan kamu dan kepintaran mu akan hilang ditelan debu peradaban yang haus akan perubahan.

#refleksibodohmahasiswaesuda

sumber : http://ridwansyahyusufachmad.com/2012/12/03/hakekat-pelajar-baca-pikir-dan-tulis/

Thursday 6 December 2012

Mencoba Mengingatkan Diri Sendiri

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, "Mengapa kamu menasehati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?" Mereka menjawab, "Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertakwa"
QS. Al A'raf : 164


Suatu hari saya mendapat keluhan dari junior kampus tentang bagaimana teman - teman seperjuangan sudah sulit untuk diajak bergerak, dalam artian membuat kegiatan keislaman di kampus. Ada terbersit rasa iri di hati ketika melihat teman - teman dari kampus lain bersemangat mengadakan kegiatan di kampus, terutama kegiatan keislaman.


Begitu banyak alasan yang diajukan atas ketidakmampuan itu. Alasan pekerjaan, sibuk mengajar, membuat tugas kuliah, rumah jauh dan lain sebagainya. Kadang saya berpikir, memangnya kalau tidak mengajar bisa membuat kegiatan yang maksimal? Tidak bekerja akan memaksimalkan potensi yang ada? Ah mungkin saya juga tak lebih baik daripada mereka

Saya katakan pada junior itu bahwa sudah saatnya mencari generasi baru, tak usah terlalu banyak berharap dengan orang - orang yang sudah jelas - jelas menyatakan diri tidak bisa. Bukan menyerah dengan mereka, tapi saya pikir akan membuang energi saja, sementara masih ada yang bisa untuk diajak bekerja sama.

Wahai orang - orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang - orang yang beriman tapi bersikap keras terhadap orang - orang kafir yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikanNya kepada siapa yang Dia kehendaki.  Dan Allah Mahaluas (pemberianNya), Maha Mengetahui
QS. Al Maidah : 54


Kedua surah dalam Al Quran ini begitu menginspirasi dan menyemangati kita ketika akan mengajak orang lain untuk sama - sama berbuat kebaikan (insya Allah). Surah Al A'raf ayat 164 mengajarkan kita untuk terus menerus mengajak orang lain, siapa pun dia selama ia masih berada dalam jangkauan kita.


Kenapa? Hanya dua alasan yang melandasi. Pertama, agar nanti di hari akhir saya bisa lepas tanggung jawab terhadap kewajiban mengajak mereka. Saya menyadari dan tahu bahwa saya termasuk salah satu orang yang tahu dan memahami tentang kewajiban mengajak orang lain untuk menjadi baik, lebih mengenal Allah dan menjauhi maksiat (meskipun saya juga sedang belajar). Wajib hukumnya jika saya tahu bahwa saya tahu. Berbeda dengan orang - orang yang tidak tahu, wallahu'alam

Mungkin alasan yang pertama ini terkesan egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Loh, bukan di dunia ini kita sedang berlomba untuk berbuat baik agar bisa selamat dunia akhirat, masuk surga dan bertemu Allah juga Rasulullah? Kita bukan sedang memikirkan materi apa yang akan kita dapatkan setelah itu. Tidak. Saya selalu mengingatkan diri sendiri dan berusaha meluruskan niat bahwa ini semata - mata dilakukan karena perkataan Allah dalam surah tersebut.

Kedua, agar mereka yang kita ajak dan kita seru untuk berbuat kebajikan mendapat hidayah dari Allah dan menjadi orang - orang yang bertakwa. Bukankah jika kita bisa menjadi penyalur hidayah bagi orang lain, hal itu lebih baik dari langit dan bumi serta isinya?? Siapa yang tak ingin dengan mendapatkan itu? Sayang hanya orang - orang beriman yang bisa meraihnya. Semoga kita berada dalam golongan tersebut. Amiin

Nah berkenaan dengan Surah Al Maidah ayat 54 ada kalanya membacanya dengan sedih, di satu sisi menjadi gembira.

Kita bahas gembiranya dulu. Satu, jika hari ini kita adalah orang yang mengganti seseorang di sebuah amanah karena alasan tertentu maka berbahagialah bahwa kita telah dipilih Allah untuk menjalankan amanah tersebut. Hal ini bisa berarti bahwa kita lebih baik dari yang sebelumnya (sekali lagi ini hanya hasil analisis saya, jika salah mohon diluruskan).

Misalnya dalam struktur kepengurusan, sering terjadi perombakan pengurus agar organisasi jadi lebih sehat. Biasanya reshuffle dilakukan jika salah satu pengurus menjadi tidak aktif dikarenakan alasan tertentu. Dan jika kita adalah orang yang menggantikan, beristighfarlah. Ini bisa menjadi berita gembira sekaligus menakutkan. Bergembira karena mungkin kita bisa lebih baik dari pengurus sebelumnya, khawatir jika ini adalah ujian bagi kita dan kita tak mampu melewatinya.

Tidak hanya dalam soal kepengurusan saja, juga eksistensi kita dalam dunia dakwah. Masihkah kita menghadiri kajian pekanan untuk sama - sama melingkar? Masihkah kita bersegera untuk menyambut seruan jamaah? Masihkah kita berada dalam koridor yang Allah ridhoi? Wallahu'alam. Penulis mengingatkan diri sendiri.

Dua, ayat ini semestinya membuat kita bersedih jika kita adalah orang yang dimaksud dalam ayat tersebut. Orang yang diganti oleh golongan yang lebih dicintai oleh Allah dan mereka pun mencintai Allah. Lalu apakah berarti cinta Allah pada kita tak sebesar cintaNya pada golongan tersebut? Bisa jadi. Penulis hanya berasumsi, selebihnya adalah urusan Allah dan penulis selalu berusaha mengingatkan diri sendiri.

Apa pun itu tak perlu gundah dan sedih jika tak ada lagi yang mau untuk diajak bergerak. Umar bin Khattab r.a menginspirasi kita dengan kata - katanya, jika ada 1000 orang yang berjihad di jalan Allah maka salah satunya adalah aku, jika ada 100 orang yang berjihad di jalan Allah maka salah satunya adalah aku, jika ada 10 orang yang berjihad di jalan Allah maka salah satunya adalah aku, jika hanya ada 1 orang yang berjuang di jalan Allah maka itu adalah aku, dan jika tidak ada lagi yang berjihad, maka dipastikan aku telah syahid!!!


Tuesday 13 November 2012

Bunda Itu

Suatu hari aku diminta untuk mengambil undangan ke rumah seorang aktivis LSM di Kepri. Ia adalah seorang yang sudah tua, kurasa umurnya sudah mencapai 70 tahun. Namun dengan umur segitu, aku salut karena setiap bertemu beliau di sebuah acara seminar atau dialog kedaerahan yang dihadiri oleh pejabat - pejabat dan juga tokoh - tokoh masyarakat, ia selalu ada dan selalu mengkritisi pemerintah.

Dia selalu menyuarakan pada pemerintah, mengingatkan bahwa Kepri sudah terbentuk sekian tahun lamanya, namun kesejahteraan belum juga merata. Woooww ini orang tua yang idealis dan kritis, begitu pikirku.

Hari itu aku pergi ke rumahnya. Dia bilang rumahnya ada kantor di sebelahnya. Rupanya dia pengelola sebuah LSM yang cukup sering kudengar kiprahnya di Kepri. Begitu memasuki kantor kecil itu, yang kulihat adalah tumpukan buku di lemari dan meja - meja. Di sudut ruangan panjang itu ada lemari buku yang penuh dengan buku entah apa namanya aku pun tak tahu, yang jelas buku - buku yang sudah tua. Di depan lemari itu ada tumpukan koran harian bermacam - macam. Di dinding ruangan tersebut ada tertempel berita tentang pelantikan pejabar eselon dan susunan kabinet Kepri yang entah tahun berapa, tapi kurasa masih baru karena beberapa di antaranya ada yang kukenali

Hmmm pantas ia begitu kritis di forum. Rupanya ini yang dikerjakan orang tua itu setiap harinya, kataku dalam hati. Di dinding lainnya aku melihat beberapa foto - foto beliau dengan beberapa pejabat di acara yang berbeda - beda. Ada pula foto - fotonya bersama teman sejawat. Ah, semua pernah muda ya :)

Dalam hati aku bergumam, sayang sekali, beliau orang yang cerdas dan pastinya tidak melewatkan satu hari pun untuk membaca dan memperhatikan kondisi kekinian. Namun, secara keislamannya belum begitu baik. Kerudung yang hanya seadanya membuatku miris bahwa ia belum sempat bertobat padahal sudah setua ini. Ah, siapa yang tahu. Mungkin di mata Allah ia lebih baik, kataku mencoba berpikir positif tentang orang tua itu.

Di meja kerja aku melihat beberapa kertas yang belum tersusun rapi, nampaknya ini adalah hari - hari sibuk sehingga tak sempat membereskan meja. Ada asbak rokok besar dengan beberapa puntung rokok di dalamnya. Hmmmm mungkin rokok sang suami.

Puas melihat - lihat ruangan kecil itu, aku duduk tenang menunggu si Ibu menyelesaikan makan malamnya. Kryuuukk... Duh perutku lapar. Teringat pada mie rebus yang sedang dimasak oleh Kak Nur di kosnya untukku malam ini. Kupikir hanya sebentar jadi kutinggalkan sejenak kosnya untuk mengambil undangan

Wednesday 7 November 2012

Allah SWT Mencintai Nurul Azizah



Nurul Azizah Mencintai Allah SWT

Allah SWT Mencintai Nurul Azizah

Nurul Azizah dan Allah SWT Saling Mencintai



Bukti cinta Allah SWT terhadap Nurul Azizah
Allah SWT memberikan segala kemudahan dalam kehidupan Nurul Azizah sehingga ia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik. Nurul Azizah dipilih oleh Allah SWT untuk lahir dari keluarga sederhana tapi bahagia dengan kedua orang tua yang penuh tanggung jawab mengasuh dan memelihara Nurul Azizah hingga ia menjadi manusia yang berusaha untuk menyenangkan Allah SWT.

Allah SWT juga memberi anugerahNya pada Nurul Azizah, yaitu seorang ibu yang cekatan dalam mengasuh dan mendidik Nurul Azizah. Ayah yang senantiasa menjadi ayah yang baik untuk Nurul Azizah. Menafkahi Nurul Azizah dengan rezeki yang halal dari Allah SWT serta memberi tempat tinggal yang layak.

Allah SWT juga memilihkan lingkungan yang baik dan jauh dari kehidupan yang tidak baik. 

Allah SWT juga mempertemukan Nurul Azizah dengan orang - orang yang senantiasa berusaha mencintai Allah SWT dan bertemu atas dasar cinta kepada Allah SWT

Sungguh anugerah luar biasa dari Allah SWT untuk Nurul Azizah sebagai bukti cintaNya 

Lalu apa yang diperbuat Nurul Azizah sebagai bukti cintanya pada Allah SWT??

#Nurul Azizah belajar memupuk kembali rasa cintanya pada Allah SWT


Tuesday 6 November 2012

Menulis sebelum Mati

Di facebook, beredar tulisan - tulisan yang ditulis oleh salah seorang mahasiswi yang meninggal itu. Salah satunya dia menulis tentang kematian, sebulan yang lalu, kira - kira bulan Oktober kalo gak salah (maaf jika salah). Di blognya juga ada beberapa tulisan yang bermanfaat sekali untuk dibaca. Moga menjadi amal jariyah bagi beliau.

Aku jadi berpikir, seandainya suatu hari saat waktu kematianku tiba, apa yang akan kutinggalkan untuk orang - orang di sekitarku. Hal yang bermanfaat untuk mereka namun juga bisa menambah tabungan amalku meski sudah bisa lagi beraktivitas di dunia.

Setelah membaca catatan - catatan teman - teman yang memang gila menulis, aku menyimpulkan bahwa memang itulah yang seharusnya aku tinggalkan untuk mereka yang akan kutinggalkan. Sebuah tulisan. Bukan tulisan sembarangan, tapi tulisan yang menginspirasi banyak orang untuk berubah lebih baik dari hari ini.

Akhir - akhir ini aku memang jarang menulis, entah dikarenakan apa. Rasa malas yang datang bertubi - tubi membuatku harus terseok kembali untuk pulih seperti sedia kala. Ada beberapa hal yang positif dulunya kulakukan, tapi sekarang telah kutinggalkan. Aku sadar bahwa inilah fenomena lemahnya iman.

Mengenai tulisan, tahun lalu hingga awal 2012, aku lebih sering menulis di buku harian dengan bahasa yang 'aku' sekali. Tidak begitu memperhatikan EYD, tertulis apa adanya. Aku bertekad untuk menuliskan setiap detik kejadian dalam satu hari. Setiap detil perasaannya pun kutuliskan. Seperti apa orang dan keadaan saat itu berhasil kutuliskan meskipun dengan kekurangan sana - sini.

Buku itu biasa, seperti buku lainnya. Yang berbeda adalah, buku harian itu selalu kuserahkan pada Kak Pura untuk dibaca. Awalnya kupikir seharusnya rahasia tidak boleh kubagikan dengan orang lain, tapi biarlah, aku percaya padanya. Sejauh ini dari tiga cara yang dianjurkan oleh Umar bin Khattab tentang bagaimana cara mengetahui karakter seseorang yang sesungguhnya, telah kucoba selama berteman dengan beliau. Dan hasilnya alhamdulillah, kupercayakan padanya untuk membaca buku harian tersebut

Meskipun dalam buku itu kadang kutuliskan tentang dia, bagaimana hari itu aku kesal padanya, bahwa aku tidak suka dengan pendapatnya, tapi ia baca buku itu sambil tersenyum. Setelah membaca ia akan berkomentar bahwa bahasaku membuatnya geli :D

April 2012 buku itu tak pernah lagi kutulis. Kubiarkan terletak di sudut berdebu kamar tidur yang hingga hari ini belum berhasil kutata dengan rapi.

T_T

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuuun
Kemarin ada lagi akhwat yang meninggal dalam kecelakaan bus setelah mereka pulang dari seminar nasional. Mereka mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dua - duanya teman Kiki (anak rohis di smansa dulu yang satu angkatan dengan mereka).

Semoga amal ibadah mereka diterima Allah swt dan mereka dikumpulkan kelak di jannahNya
Amin

Tuesday 2 October 2012

Kontribusi dan Kaderisasi Struktural


Oleh : Cahyadi Takariawan


Apa makna menjadi pengurus organisasi dakwah bagi para kader ? Tentu sangat banyak maknanya, namun saya mengajak anda melihat dari dua aspek ini saja : lahan kontribusi dan lahan kaderisasi. Dua makna penting yang harus menjadi cara pandang kita dalam kehidupan berstruktur atau berorganisasi dakwah.
Pertama adalah lahan kontribusi. Organisasi dakwah telah mendidik dan menyiapkan banyak kader dengan beragam potensi dan keahlian. Semua potensi dan semua keahlian yang dimiliki para kader sangat bermanfaat bagi organisasi dalam mengelola semua aktivitas dan programnya untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Dengan dilibatkannya para kader dalam struktur kepengurusan, telah menjadi lahan berkontribusi yang nyata untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki.

Ada potensi administrasi, ada potensi kepemimpinan, ada potensi manajerial, ada potensi loby, ada potensi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, hukum dan lain sebagainya. Keseluruhan potensi tersebut diwadahi dalam bingkai struktur organisasi, menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat sesuai kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki. Dengan manajemen yang tepat, semua potensi diolah dalam sebuah orkestra kepengurusan yang harmonis, sehingga menghasilkan simponi yang indah, teratur, berirama dan terarah.
Orkestra bisa kacau, atau menghasilkan lagu yang tidak enak didengar, sumbang dan tidak serasi, karena ada bagian dari pemain orkestra yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa tidak melaksanakan tugas dengan baik ? Bisa jadi karena tidak sesuai kemampuan dan keahliannya. Ahli gitar yang diminta memainkan biola tentu tidak akan menghasilkan harmoni yang tepat. Bisa jadi pula karena kualitas dan integritas pribadi yang bersangkutan, yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja dalam tim, atau tidak memiliki obsesi serta cita-cita kemajuan dan perbaikan. Dia tidak peduli kalau konser orkestra tersebut berantakan dan tidak sukses.
Dalam perspektif ini, menjadi pengurus organisasi dakwah di level apapun, di pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa/kelurahan, menjadi lahan bagi kader untuk mengkontribusikan waktu, tenaga, pemikiran dan semua potensi yang dimiliki bagi tercapainya tujuan-tujuan organisasi dakwah. Keterlibatan dalam struktur organisasi menjadi sarana tersalurkannya berbagai kemampuan dan keahlian kader, yang sesuai dengan dinamika internal dan eksternal organisasi tersebut. Ini merupakan makna yang penting, dimana segala potensi kader bisa tersalurkan dalam wahana dan sarana yang tepat untuk dikontribusikan bagi pencapaian tujuan.
Pada sisi yang lain, organisasi dakwah dipenuhi oleh para kader yang memang memiliki kapasitas yang memadai sehingga menyebabkan organisasi menjadi dinamis dan memiliki keunggulan kompetitif. Pada akhirnya bertemulah antara lahan kontribusi kader dengan kebutuhan organisasi dakwah yang dinamis. Potensi kader terkontribusikan secara optimal, pada saat yang sama organisasi dakwah menjadi kuat dan unggul karena dikelola oleh para kader yang penuh potensi.
Namun jangan hanya memandang posisi kepengurusan hanya dari segi lahan kontribusi kader saja, harus digenapkan cara pandang kita dengan memahami bahwa kepengurusan organisasi dakwah adalah lahan kaderisasi.  Inilah makna kedua dari kepengurusan organisasi dakwah, dan merupakan makna yang sangat penting bagi sebuah organisasi kader. Menjadi pengurus organisasi adalah lahan melakukan kaderisasi, dimana setiap saat, setiap periode kepengurusan, kader datang silih berganti mengisi pos-pos yang tepat bagi dirinya.
Di sisi ini terjadi sesuatu yang unik, karena kedua makna ini bisa dipandang sebagai sesuatu yang sinergis, namun bisa juga dipandang sebagai sesuatu yang kadang bertubrukan kepentingan. Dalam perspektif sinergis, kepengurusan dalam organisasi dakwah adalah lahan kontribusi bagi potensi kader yang sekaligus menjadi lahan kaderisasi struktural. Namun dalam sisi yang bersebelahan, kadang organisasi harus memilih beberapa personal kader saja untuk menempati pos-pos kepengurusan, sementara kader jumlahnya sangat banyak yang tidak mungkin tertampung semua dalam struktur kepengurusan. Tentu ini pilihan yang sulit.
Dalam setiap prosesi pergantian kepengurusan organisasi dakwah lewat mekanisme Musyawarah, selalu ada suasana khas. Ada pengurus lama yang sudah berpengalaman dan bertambah ilmunya karena telah melaksanakan amanah kepengurusan selama satu atau dua periode, namun ada sangat banyak kader potensial yang siap menempati pos-pos kepengurusan, dengan menjadi pengurus baru.
Para pengurus lama telah menjadi senior, yang karena memiliki pengalaman struktural pada periode sebelumnya, menjadi bertambahlah ilmu, pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan dan kemampuannya dalam menjalankan amanah organisasi. Potensi mereka bertambah besar dan sangat penting untuk dikontribusikan bagi organisasi dakwah. Namun, para senior harus pandai menempatkan diri agar tidak terjebak dalam sebuah suasana status quo, dimana merasa mapan dengan posisi struktural dalam organisasi dakwah sehingga tidak mau digeser atau diganti.
Jika kepengurusan jumud dan statis, tidak memberikan kesempatan kepada kader baru untuk terlibat dalam struktur organisasi, akan menyebabkan kaderisasi mandeg. Kader-kader baru yang terus bermunculan tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran dan pengalaman berstruktur, pada saat yang bersamaan organisasi bisa mengalami kejumudan karena diisi oleh wajah-wajah lama. Untuk itu, pengalaman berstruktur perlu dibuka seluas-luasnya bagi kader-kader baru, agar terjadi dinamisasi dan percepatan kaderisasi.
Hal ini tentu saja tidak menghalangi bagi organisasi untuk tetap mempertahankan beberapa personal lama di beberapa posisi yang dianggap penting dan perlu diisi oleh senior berdasarkan pertimbangan strategis yang ada pada waktu itu. Ada tokoh-tokoh senior yang memang sangat diperlukan untuk menjaga organisasi, namun perlu banyak kader baru yang harus segera dimunculkan. Komposisi tua – muda atau senior – yunior ataua lama – baru menjadi penting untuk menjaga agar organisasi menjadi seimbang dengan adanya kebijakan dan hikmah dari para senior, namun tetap menggelorakan semangat kader-kader muda.
Pada konteks kaderisasi struktural seperti ini, ada banyak kesadaran besar yang harus dibangun di hati dan benak semua kader.
Kesadaran pertama, bahwa kontribusi dakwah tidak selalu dan tidak harus dibangun dalam wadah kepengurusan formal. Sangat banyak lahan kontribusi untuk menyumbangkan segala potensi yang kita miliki di jalan dakwah. Menjadi pengurus adalah salah satu lahan kontribusi, namun tidak mungkin semua kader tertampung dalam struktur kepengurusan formal. Struktur organisasi dakwah selalu lebih sempit dibandingkan dengan jumlah dan potensi kader yang dimiliki. Purna kepengurusan tidak berarti purna kontribusi bagi dakwah, karena kontribusi bisa diberikan dalam berbagai bidang amal salih yang sangat luas.
Kesadaran kedua, bahwa pengalaman berstruktur dalam organisasi dakwah merupakan bagian utuh dari proses tarbiyah (pembinaan dan pengkaderan). Oleh karena itu, para senior harus memberikan tempat dan kesempatan yang luas bagi para kader muda untuk mengalami dan merasakan pengalaman berstruktur tersebut. Pemunculan kader menjadi pengurus baru merupakan sebuah akselerasi pergerakan dakwah, agar semakin banyak kader memiliki kemampuan, ketrampilan dan pengalaman berstruktur. Dengan demikian, organisasi dakwah telah menyiapkan aset yang besar bagi upaya membangun masa depannya.
Kesadaran ketiga, bahwa penempatan kader dalam struktur kepengurusan merupakan amanah dakwah, bukan sebuah pemuliaan atau penghormatan. Artinya, jika ada pengurus baru menggantikan pengurus lama, para pengurus baru ini tengah menerima amanah untuk ditunaikan dengan sepenuh tanggung jawab dan dedikasi, sedangkan para pengurus lama yang tidak lagi mendapatkan amanah kepengurusan bukanlah pihak yang dicampakkan. Kalau menjadi pengurus dimaknai sebagai pemuliaan, maka tatkala tidak terpilih menjadi pengurus akan dimaknai sebagai pembuangan, pencerabutan atau pencampakan potensi. Padahal sama sekali tidak seperti itu maknanya.
Kesadaran keempat, tidak ada rumus pengistimewaan bagi para senior. Dalam organisasi dakwah, senioritas tidak dimaknai dalam konteks pragmatis, misalnya diutamakan dalam penempatan kepengurusan, atau didahulukan dalam penempatan di jabatan publik, diutamakan dalam fasilitas, dan seterusnya. Kepemimpinan bukanlah proses yang terjadi secara “urut kacang”, dimana setiap kader bisa menghitung kapan kesempatan menjadi pemimpin. Tidak seperti itu rumusnya. Untuk menempati posisi kepemimpinan tidak selalu diambil dari orang yang paling senior atau lebih senior, namun lebih kepada pertimbangan kemaslahatan dalam pengertian yang luas. Hal ini penting dipahami, agar kader yang merasa senior tidak tersinggung ketika dirinya tidak ditempatkan dalam posisi kepemimpinan di struktur organisasi.
Kesadaran kelima, bahwa pergantian kepengurusan adalah sebuah keniscayaan. Organisasi perlu diisi berbagai potensi, perlu diregenerasi, perlu disegarkan dengan adanya pergantian. Proses pergantian kepengurusan menandakan denyut kaderisasi berjalan dengan lancar. Tidak mungkin selamanya kader menjadi pengurus organisasi, harus ada batas waktunya. Maka silih berganti kader datang dan pergi mengisi pos-pos struktur organisasi, untuk berkontribusi, dan menjadi lahan kaderisasi.
Kesadaran keenam, bahwa purna kepengurusan berarti memiliki kesempatan lebih luas untuk aktualisasi potensi di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Setelah berkontribusi melalui struktur organisasi dakwah, terbentuklah pendewasaan, pengalaman, kemampuan, ketrampilan yang didapatkan selama masa kepengurusan berlangsung. Hal ini menjadi modal dan bekal untuk membangun ketokohan sosial, membangun jejaring sosial, membangun kredibilitas publik, untuk mengambil peran-peran kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan lebih lanjut.
Kesadaran ketujuh, bahwa tidak ada kamus pensiun dalam aktivitas dakwah. Periodisasi dalam kepengurusan organisasi dakwah memiliki makna proses kaderisasi dan regenerasi yang lancar dan teratur di kalangan kader dakwah. Setiap pengurus organisasi akan pensiun dari kepengurusan, namun tidak ada kata pensiun dari aktivitas kebaikan. Dakwah adalah sebuah dinamika yang berkesinambungan dan terus menerus sampai akhir zaman. Tak pernah ada pensiunan aktivis, walaupun ada aktivis yang futur. Maka kendati tidak berada dalam barisan kepengurusan, tidak berarti selesai berkontribusi.
Bagi kader dakwah, totalitas (tajarrud) artinya adalah memberikan semua potensi yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dakwah. Dengan demikian, tidak terbatas pada amanah kepengurusan formal. Dimanapun kader berada, dimanapun kader beraktivitas, melalui sarana apapun kader berkarya, semua bisa dioptimalkan bagi kepentingan pencapaian tujuan dakwah. Semua tetap terajut dalam kerja sistemik (amal jama’i), yang akan membuahkan hasil yang sistemik pula.
Setelah rampung prosesi pergantian kepengurusan, kita ucapkan selamat bertugas dan mengemban amanah bagi para kader yang mendapatkan peran struktural. Curahkan segala potensi dan kemampuan anda dalam menunaikan amanah kepengurusan, dengan segenap kesungguhan dan dedikasi, dengan segenap kecintaan dan pengurbanan. Optimalkan pembelajaran selama mengemban amanah kepengurusan, sehingga purna kepengurusan nanti anda memiliki banyak sekali ilmu, wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan semakin bertambah potensi yang anda miliki.
Bagi para kader yang telah purna masa khidmahnya dalam struktur kepengurusan formal, kita ucapkan selamat atas keberhasilan memberikan kontribusi terbaik selama masa kepengurusan. Anda telah mendapat pengalaman dan pembelajaran berstruktur yang sangat penting bagi peningkatan kapasitas anda, dan sekarang anda telah memberikan kesempatan kepada kader-kader muda untuk mendapatkan pengalaman dan pembelajaran tersebut. Organisasi dakwah ini adalah sebuah Universitas yang terus mencetak kader untuk semakin lengkap potensinya.
Selamat berkontribusi pada lahan-lahan amal yang baru, di luar struktur kepengurusan organisasi. Ada sangat banyak lahan kontribusi menanti anda, ada sangat banyak kesempatan beramal di jalan dakwah, ada sangat banyak peran yang bisa anda lakukan, tanpa harus berada dalam struktur kepengurusan formal. Semua tetap dalam bingkai amal jama’i yang teratur rapi. Semua tetap dalam satu koordinasi dan konsolidasi untuk mencapai mimpi-mimpi yang kita bangun selama ini.
Itulah beberapa kesadaran besar yang harus kita kuatkan dalam kehidupan dakwah. Jangan ada kader yang merasa dicampakkan, atau dilupakan, atau dibuang, hanya karena dirinya tidak tertampung dalam jajaran kepengurusan. Jangan ada kader yang kecewa dan merasa terhina hanya karena tidak masuk dalam struktur organisasi. Semua kader dakwah mengerti lahan-lahan tempat berkontribusi. Semua kader dakwah memahami untuk tujuan apa terlibat dalam dakwah ini. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Menjadi apapun kita di organisasi dakwah yang kita cintai, atau tidak menjadi apapun. Jangan pernah berhenti.
Fa idza faraghta fanshab, wa ila Rabbika farghab.
Yogyakarta, 7 Januari 2011

Kematian Hati


*nasihat Ustadz Rahmat Abdullah
disadur dari tulisan Cahyadi Takariawan >>Menghindari Kematian Hati
Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya.
Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri. Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang Allah berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan Allah atasmu.
Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiyam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri. Asshiddiq Abu Bakar Ra selalu gemetar saat dipuji orang. “Ya Allah, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka”, ucapnya lirih.
Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidak-sesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang.
Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat maksiat menggodamu dan engkau menikmatinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada Allah, dimana kau kubur dia?

Tujuh Karakter Kader dalam Menghadapi Realitas Medan Dakwah


oleh Cahyadi Takariawan

Dakwah di tengah kehidupan masyarakat pasti akan berhadapan dengan sejumlah kendala, tantangan, hambatan dan bahkan ancaman. Apalagi ketika dakwah sudah memasuki wilayah kelembagaan politik dan kenegaraan, akan lebih banyak lagi tantangan yang harus dihadapi. Para kader dakwah harus memiliki karakter yang kuat agar bisa mensikapi berbagai tantangan tersebut dengan tegar.

Paling tidak, kader dakwah diharapkan memiliki tujuh karakter berikut ini, agar bisa tegar menghadapi realitas medan dakwah yang kadang terasa sangat keras perbenturannya.

Pertama, atsbatu mauqifan, kader dakwah harus menjadi orang yang paling teguh pendirian dan paling kokoh sikapnya. At-Tsabat (keteguhan) adalah tsamratus shabr (buah dari kesabaran). Sebagaimana firman Allah, “Famaa wahanuu lima ashabahum fii sabiilillahi wamaa dha’ufu wamastakanu”. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah, dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Keteguhan itu membuat tenang, rasional, obyektif dan mendatangkan kepercayaan Allah untuk memberikan kemenangan.

Kedua, arhabu shadran, kader dakwah harus menjadi orang yang paling berlapang dada. Medan dakwah sering kali membuat hati sempit. Banyak kata-kata ejekan, cemoohan, caci maki, sumpah serapah yang terlontar begitu saja dari banyak kalangan. Kader dakwah tidak boleh bersempit hati dan sesak dada karena caci maki orang dan karena berita-berita di media massa yang sering kali mendiskreditkan tanpa konfirmasi dan pertanggungjawaban.

Ketiga, a’maqu fikran, kader dakwah harus menjadi orang yang memiliki pemikiran paling mendalam. Kader haru selalu berusaha mendalami apa yang terjadi, tidak terlarut pada fenomena permukaan, tetapi lihatlah ada apa hakikat di balik fenomena tersebut. Jika pemikiran kader bisa mendalam, ketika merespon pun akan lebih obyektif, terukur, dan seimbang.

Keempat, ausa’u nazharan, kader dakwah harus menjadi orang yang memiliki pandangan luas. Cakrawala pandangan kader dakwah harus terus menerus diperluas, agar tidak mengalami gejala kesempitan cara pandang. Membaca realitas dengan pandangan yang luas akan membawa kader kepada sikap adil dan moderat. Todak terjebak kepada sikap-sikap ekstrim dan berlebih-lebihan.

Kelima, ansyathu amalan, kader dakwah harus menjadi orang yang orang yang paling giat dalam bekerja. Kader dakwah tidak boleh disibukkan dengan membantah isu-isu, atau mengcounter suara-suara negatif, karena itu tidak banyak membawa produktivitas. Yang lebih produktif adalah selalu bekerja di tengah masyarakat. Tunjukkan kerja nyata. Jika ada yang perlu direspon, boleh direspon sesuai kebutuhan, namun tetap harus giat bekerja untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara.

Keenam, ashlabu tanzhiman kader dakwah harus memiliki gerakan yang paling kokoh strukturnya. Sebagai jama’ah kumpulan manusia, pasti ada kekurangan dan kesalahan. Namun kewajiban kita adalah terus berusaha menghindarkan diri dari kesalahan dan kelemahan, sambil terus berbenah. Struktru dakwah harus terus menerus dikokohkan dari pusat, wilayah, daerah, cabang hingga ke ranting. Jangan biarkan ada celah yang bisa digunakan untuk melemahkan struktur dakwah.

Ketujuh, aktsaru naf’an, kader dakwah harus menjadi orang yang paling banyak manfaatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Kader dakwah harus membuktikan bahwa keberadaan mereka di tengah kehidupan masyarakat memberikan banyak kontribusi kebikan. Tidak  merugikan atau membuat keonaran, namun justru memberikan banyak kemanfaatan dan kebaikan.

Jika tujuh karakter itu dimiliki oleh para kader dakwah, niscaya lebih ringan dan mudah menghadapi tantangan dan hambatan di sepanjang jalan dakwah. Kader dakwah dan seluruh aktivitas dakwah akan semakin kokoh dan diterima masyarakat, dalam menghadirkan berbagai kebajikan yang diharapkan oleh umat, bangsa dan negara.

sumber http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2613

Saturday 29 September 2012

Menjawab Keresahan Aktivis KAMMI




*ini tulisan Syamsuddin Kadir, ayah Azka Syakira, Kaderisasi KAMMI Pusat 2011-2013
Cerita Awal
Beberapa waktu yang lalu saya mendapat pesan di inbox facebook, SMS, telepon bahkan email dari beberapa kader KAMMI dari pelosok nusantara. Banyak pesan yang disampaikan, seperti pola pengkaderan KAMMI, kualitas atau output pengkaderan KAMMI, kemandirian pengkaderan KAMMI, kefakuman tradisi intelektual KAMMI hingga kegamangan gerakan (eksternal) KAMMI.
Saya terkejut mendapatkan semua itu, sebab dari hari ke hari pernyataan-pernyataan sejenis terus bermunculan. Entah mengapa, yang jelas itu yang saya dapatkan. Ada yang menggunakan bahasa yang cukup “kasar”, nada yang cukup keras dan seterusnya. Ada juga yang lembut, santai dan akur. Walaupun hanya dari beberapa kader, bagi saya, itu cukup dijadikan renungan bagi siapapun yang mencintai organisasi berusia belia ini. Apalagi pada 29 Maret 2012 KAMMI sudah berusia genap 13 tahun. Artinya, 30 Maret 2012 KAMMI segera memasuki awal-awal usia 14 tahunnya.
Menjawab Keresahan
Bagi saya—terutama sebagai bagian Bidang Pembinaan Kader (BPK) KAMMI Pusat periode 2011-2013 ini—semua itu adalah wujud kecintaan dan kepedulian aktivis KAMMI kepada KAMMI, sebuah rumah indah dimana mereka “tinggal” hingga kini. Karena itu, cara terbaik yang mesti saya hadirkan adalah menjadi “lidah” terbaik bagi KAMMI—walaupaun hanya ‘manusia biasa’ di KAMMI. Walau begitu, sebagai ‘manusia biasa’ di KAMMI yang merasa “tertampar”, baik sebagai BPK KAMMI Pusat maupun sebagai aktivis KAMMI yang cukup lama “tinggal” di KAMMI, saya punya hak untuk “berbicara” dan “membela”. Tentu saja sesuai kemampuan dan porsi saya.
Banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikiran saya : Begitu “santai”, “gamang”, “pragmatis”, “cinta dunia”-nya kah KAMMI saat ini? Apakah KAMMI sudah tidak berpikir jernih mengenai tanggung jawab dan peran besar lagi? Sebegitu “gagal”, “stagnan”, “beku”, “lesu”, atau “mati” kah KAMMI? Begitu “picik”, “dangkal”, “arogan”-nya kah KAMMI? Ah saya tak tahu pasti, karena itu saya tak mau bicara banyak, apalagi menyalahkan tetek bengeknya. Malu sama aktivis-aktivis KAMMI yang ikhlas menjaga stand, yang tak lupa ikut proses pengkaderan, yang setia mengisi pelatihan, yang mengorbankan semua yang dimiliki demi dakwah, yang tak henti mengkampanyekan gerakan tutup aurat, yang sabar jika dighibahin dan difitnah oleh sesama aktivis, yang memaafkan sesama aktivis di kala salah dan khilaf, yang malu dan menjaga diri dari kebiasaan merendahkan sesama KAMMI, yang tidak ridha menjelekkan aktivis KAMMI kapan dan di manapun, yang sabar menanti hasil kerja pergerakan, yang ukhuwahnya selalu diikat, yang imannya terus dipelihara, yang selalu senyum ketika bersua, yang selalu memberikan salam tuk saudaranya, yang selalu mendo’akan kebaikan dan ampunan tuk saudaranya, yang santun kala bersikap, yang sopan dalam bertutur, yang respon terhadap berbagai isu keumatan dan kebangsaan, yang tulisannya tersebar di berbagai media massa, yang tulus mengelola media massa, yang setia hadir aksi, dan ah pokoknya saya malu kepada mereka semua. Karenanya, saya hanya ingin belajar mengatakan sesuatu semampunya. Agar lidah saya kelak tak gamang menjawab pertanyaan Malaikat ketika ditanya tentang waktu, umur, ilmu dan amal. Agar kelak ketika tidak menjadi pengurus KAMMI lagi saya bisa bercerita banyak terutama mengenai betapa indah dan nikmatnya hidup dan berjuang bersama di KAMMI. Betapa mulianya visi dan orientasi pergerakan KAMMI. Ya, saya jadi teringat dengan buku KAMMI yang saya edit, “Mengapa Aku Mencintai KAMMI : Serpihan Hati Para Pejuang”. Apalagi di dalamnya ada pengantar saya, “Karena Mereka Elang Muda”, semakin jatuh cinta ke KAMMI—tentu juga aktivisnya.  
Melalui tulisan ini saya tidak memberi penjelasan yang terlalu rumit, saya hanya mengajak aktivis KAMMI di seluruh dunia untuk banyak belajar dari sejarah yang telah memberi gambaran bagaimana kenyataan umat Islam di masa lalu, salah satunya pada momentum Perang Salib. Terutama bagaimana kaum cendekia berperan ketika itu. Harapannya, aktivis KAMMI mau belajar dan banyak belajar dari sini. Karena sementara ini saya belum memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk menjawab semua pesan ataupun keresahan aktivis KAMMI. Maaf, saya masih belajar. Mohon luruskan jikalau saya salah dan khilaf.
Karena itulah, tulisan ini tak layak saya klaim sebagai jawaban BPK KAMMI atau PP. KAMMI atas berbagai keresahan, karena ia lebih tepat diposisikan sebagai “serpihan suara hati” seorang aktivis KAMMI yang bernama Kadir dari BPK KAMMI Pusat. Entah apakah keresahan sebagian aktivis KAMMI terjawab atau tidak (baca: belum), yang penting saya sudah berusaha “menjawab sekaligus “mengingatkan”.
Banyak hal yang ingin disampaikan, namun sementara waktu saya hanya menyampaikan beberapa hal saja. Sebuah upaya berkontribusi memasifkan tradisi intelektual di KAMMI. Semoga ikhwah fillah berkenan membaca dan merenungi. Selamat membaca dan mengambil manfaat!
Selintas tentang Perang Salib[1]
Saya percaya kalian pernah membaca sejarah Perang Salib. Ya, Perang Salib dimulai pada tahun 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib  berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum Muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Coba bayangkan bagaimana tragisnya kondisi umat Islam ketika itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslim yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid  dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.”[2]
Dari berbagai sumber kita dapat mengetahui bagaimana pasukan Salib membantai kaum Muslim. Penduduk Jerusalem yang dibantai pasukan Salib diperkirakan sekitar 30.000 orang. Puluhan ribu kaum Muslim yang mencari penyelamatan di atap masjid al-Aqsha dibantai dengan sangat sadis. Kekejaman pasukan Salib di Jerusalem memang sangat sulit dibayangkan akal sehat. Entah di mana hati nurani mereka ketika memotong leher dan mencincang daging kaum Muslim. Entah di mana letak toleransi dan penegakan HAM yang mereka kampanyekan.
Supaya kalian tahu, setahun sebelumnya, pada tahun 1098, tentara Salib itu juga telah membunuh ratusan ribu kaum Muslim di Marra’tun Noman, salah satu kota terpadat di Syria. Paus Urbanus II menyebut musuh kaum Kristen sebagai “The Seljuq Turks”. “Seljuk Turks”, kata Paus, adalah bangsa bar-bar dari Asia Tengah yang baru saja menjadi muslim. Bangsa ini telah menaklukkan sebagian wilayah kekaisaran imperium Kristen Bizantium. Paus mendesak agar para ksatria Eropa menghentikan pertikaian antara mereka dan memusatkan perhatian bersama, untuk memerangi musuh Tuhan. Bahkan, kata Paus, bangsa Turki itu adalah bangsa terkutuk dan jauh dari Tuhan. Maka, Paus menyerukan, “membunuh monster tak ber-Tuhan seperti itu adalah suatu tindakan suci; adalah suatu kewajiban Kristiani untuk memusnahkan bangsa jahat itu dari wilayah kita.”[3]
Saya termasuk orang yang memahami bahwa tahap-tahap perang Salib merupakan babak paling pahit dalam perjalanan sejarah Islam. Dan tampilnya Shalahuddin al-Ayyubi sebagai pemimpin umat Islam waktu itu, membalik situasi, menjadi mimpi buruk bagi tentara Salib. Sebuah film yang bagus dalam menggambarkan kisah sukses Shalahuddin al-Ayyubi merebut Jerusalem adalah sebuah film berjudul Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott. Film ini cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih objektif. Wajar jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin al-Ayyubi dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Graud, saat berhasil menaklukkan Damaskus pada tahun 1920 menginjak kakinya di makam Shalahuddin al-Ayyubi, sambil berteriak : “Saladin, Wake up, We are beck!” Sebuah sikap yang mencerminkan betapa bencinya kepada pejuang Islam dan pembela kemanusiaan tersebut.
Karem Armstrong, dalam bukunya, “Holy War : The Crusades and Their Impact on Today’s World”, menguraikan dampak perang Salib dalam bentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Jika pasukan Salib dengan biadab dan bangganya membantai ratusan ribu kaum Muslim, lain halnya saat Shalahuddin al-Ayyubi muncul menjadi pemimpin kaum Muslim, orang Kristen justru dibebaskan tanpa bayaran dan dibiarkan meninggalkan Jerusalem secara nyaman tanpa sedikit pun darah yang keluar ataupun nyawa yang hilang. Sebuah fakta yang susah dilupakan pena sejarah yang jujur dan objektif, seperti susahnya sejarah melupakan fakta bagaimana tragisnya kondisi kaum Muslim menjelang dan pada saat perang Salib. Saya berharap kiranya aktvisi KAMMI mau membaca dan merenungi sejarah Perang Salib. Agar tak salah kaprah dalam melangkah dan melanggengkan peran strategis KAMMI dalan berdakwah.
Al-Ghazali dan Perang Salib
Nah, sekarang saya mengajak aktivis KAMMI untuk mendalami sisi lain dalam Perang Salib. Dalam sejarah Perang Salib (Crusade) terdapat satu fakta sejarah yang cukup strategis untuk dibicarakan, tepatnya mengenai posisi dan peran al-Ghazali. Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lebih dikenal  dengan sebutan Imam Al-Ghazali (450/1058-505/1111).
Dalam sejarah Islam beliau dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Beliau menulis begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme.
Beliau sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, beliau justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu. Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan  sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim. Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.
Jika dikaji secara mendalam, sebetulnya, tidak diragukan lagi beliau adalah seorang tokoh dalam mazhab Syafi’i, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al-‘ain. Pakar Fiqih Islam, Wahbah al-Zuhayliy  mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ‘ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Damascus: Dar al-Fikr, 1997).
Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade. Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan Salib. Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dimashqiyyah juga menyalahkan sufisme al-Ghazali.  Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa posisi al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling). Tentang posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta dan alasan Imam al-Ghazali.”  (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).
Adalah menarik memang, bahwa dalam karya terbesarnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Beliau mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebut tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah Swt. : “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas  orang-orang yang duduk.” (Qs. al-Nisa : 95).
Al-Kilani menjelaskan bahwa usaha yang dilakukan oleh al-Ghozali adalah mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan (qobiliyyat al-bazimah) daripada menangisi segala bentuk kekalahan (mazbahir al-bazimah) yang diderita olehnya, persis seperti gagasan Malik bin Nabi di abad ini yang menyuruh agar mengkaji tentang kondisi umat yang layak dijajah (al-qobiliyyat li al-isti’mar) daripada hanya terus mengecam penjajahan.[4]
Menurut al-Ghozali, lanjut Al-Kilani, masalah yang paling besar adalah rusaknya muatan pemikiran dan diri kaum Muslim yang berkenan dengan aqidah dan sosial, sedangkan di luar itu hanya merupakan gejala-gejala lahiriah yang akan hilang dengan sendirinya apabila akar penyakit utamanya berhasil disembuhkan.[5]
Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh,  al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang  hal ini. Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.”
Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali bin Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada tahun 1105 (498 H),  enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut  dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.[6]
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi (baca: prakondisi) yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual”  kaum Muslim ketika itu.  Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan Pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral”  dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak (baca: prakondisi) sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.
Sungguh sebuah terobosan yang sangat jenial. Saya beranggapan kisah ini sangat menarik dan mengandung pelajaran berharga yang layak dipahami oleh aktivis KAMMI di zaman ini dan ke depan. Coba perhatikan kisah selanjutnya.
Dalam naskah Kitab al-Jihad  yang diringkas oleh Niall Christie,  al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafi’i dan al-Ghazali tentang jihad. Di antaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai. (Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of ‘Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie.http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).
Jihad Ilmu ala al-Ghazali        
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Ya, saya memahami bahwa beliau bukan acuh atau tidak berkontribusi dalam Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah, menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan umat Islam. Karena itulah, para ulama terkemuka seperti al-Ghazali ketika itu berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud,  dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang  cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul ‘Ilmi).
Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius oleh aktivis KAMMI. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).
Al-Ghazali benar-benar memahami isyarat hadits tersebut. Beliau berkeyakinan bahwa memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi”  sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. Hal ini selaras dengan apa yang Allah isyaratkan dalam al-Qur’an. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.”  (QS. al-Hadid : 25).
Mohon izinkan saya untuk melanjutkan penjelasan ini. Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun beliau berilmu tinggi dan mendapatkan peluang  besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi beliau justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada tahun 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. Bukan kah ini sebuah prestasi gemilang yang layak diambil hikmahnya oleh aktivis KAMMI?
Renungan Bagi Aktivis KAMMI
Saya termasuk orang yang tercengang dengan fakta sejarah Perang Salib. Kekalahan umat Islam dalam babak-babak awal perang Salib memunculkan banyak keanehan. Islam yang ketika itu tampil sebagai peradaban yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peradaban Barat justru mengalami kekalahan, dan Jerusalem bisa ditaklukkan oleh pasukan Salib dari tahun 1099-1187. Ada apa dengan kaum Muslim ketika itu?
Bahwa tragisnya kondisi kaum Muslim menjelang dan pada saat perang Salib adalah sebuah fakta yang susah dilupakan pena sejarah—terutama sejarah Islam. Dari (1) penyakit cinta dunia para penguasa yang susah diperbaiki, (2) para tentara yang terkena penyakit lupa agama dan tak berperan membela kebenaran yang begitu akut, (3) sebagian ulama yang tergoda fitnah kekuasaan dan kepentingan sesaat lainnya, (4) umat Islam yang malas memahami dan mengamalkan sumber utama Islam berupa al-Qur’an dan as-Sunnah, (5) pengikut aliran dan mazhab bertaklid dan saling mencaci maki dengan pengikut aliran dan mazhab yang berbeda, (6) virus politik yang mendominasi berbagai kalangan, (7) amar ma’ruf nahyi mungkar yang hampir hilang, hingga (8) perpecahan umat Islam dalam bentuk kelompok-kelompok, juga (9) generasi muda yang taklid kepada generasi tua tanpa ilmu, pemahaman dan rasionalitas.
Tidak ada yang menyangkal, bahwa kekalahan kaum Muslim dari pasukan Salib pada akhir 5 H merupakan salah satu tragedi terbesar yang dialami oleh umat Islam. Namun lebih dari sekadar menangisi sebuah tragedi, kita dituntut untuk merenung lebih jauh, faktor apa yang membuat umat yang mendapat gelar “Umat Terbaik” ini bisa terpuruk, bahkan tidak berdaya sedikitpun saat menghadapi serangan Salibis itu. Kesimpulannya, tentu ada sesuatu yang tidak beres dengan umat Islam. Ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat Islam setelah ditinggalkan oleh generasi emas sebelumnya.
Rasulullah Saw. adalah salah satu potret manusia ideal dalam sejarah kehidupan manusia. Mari renungi secara mendalam salah satu sabda beliau dalam sebuah hadits berikut ini.
“Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda : Apabila umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut dari mereka kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf nahyi mungkar, maka mereka akan terhalang dari keberkahan Wahyu. Dan apabila umatku saling menghina, maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah.”(HR. Hakim, Tirmizi—Darul Mantsur)
Pertanyaannya : Apakah umat Islam ketika itu sudah mengagungkan dunia, sehingga Allah mencabut kehebatan Islam dalam perjuangan mereka? Apakah umat Islam ketika itu meninggalkan amar ma’ruf nahyi munkar, sehingga mereka terhalang mendapatkan keberkahan al-Qur’an? Dan Apakah umat Islam ketika itu saling menghina, sehingga mereka mendapatkan kekalahan dari musuh-musuh Allah? Jujur, saya termasuk yang masih mencari kebenaran dan fakta sejarah Perang Salib. Yang jelas, hadits tersebut perlu dibaca dan direnugi oleh aktivis KAMMI. Bahkan saya mengusulkan agar sesering mungkin. Jangan malas atau enggan merenungi hadits sang nabi. Hayo semangat!
Selanjutnya, saya mengajak aktivis KAMMI untuk memahami makna dan pesan salah satu firman Allah berikut ini. Allah Swt. berfirman,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Qs. Asy-Syuraa : 20)
Saya tidak perlu menjelaskan apa maksud ayat tersebut. Karena saya percaya aktivis KAMMI sudah sering membaca dan merenunginya. Silahkan berbagai kepada sesama, apa maksud dan pesan-pesan ayatnya.
Oh ya, mari kita lanjutkan. Kita bersyukur, bahwa 90 tahun kemudian, tampil Shalahuddin al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hiththin sebagai pembuka jalan untuk merebut Palestina kembali. Apa gerangan yang terjadi? Apakah Shalahuddin al-Ayyubi seorang utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat Islam? Apakah Shalahuddin al-Ayyubi seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan segala keistimewaan pribadinya? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Shalahuddin al-Ayyubi adalah pelanjut Imam Zanki dan anaknya Nurudin Zanki yang sudah mempersiapkan mimbar baru untuk masjidil Aqsha jauh sebelum itu.
Dalam konteks Perang Salib dan upaya membangkitkan peradaban Islam pada saat ini juga di masa depan, tentu Shalahuddin al-Ayyubi tidak sendiri. Sebab, kita tidak mungkin melupakan peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam yang hidup dalam kurun waktu tersebut, seperti al-Ghazali, Abdul Qodir al-Jaelani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dan sederatan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat Islam.
Alhasil, Shalahuddin al-Ayyubi hanya seorang juru bicara resmi dari sebuah generasi yang telah mengalami proses penggodokan dan perubahan. Sebuah generasi yang telah berhasil melampaui kesalahan-kesalahan masa lalu yang ditorehkan oleh para pendahulu dan meneruskan peran-peran perjuangan mereka. Bahwa Shalahuddin al-Ayyubi—sebagaimana Muhammad Al-Fatih[7]—tidak lebih dari salah satu komponen sebuah generasi baru yang telah melalui proses pengkaderan yang matang. Mereka telah melakukan proses konstruksi model manusia seperti pemikiran, persepsi, nilai, tradisi dan kebiasaannya. Kemudian mereka dipersiapkan untuk menempati posisi-posisi yang sesuai dengan kesiapan dan kemampuan masing-masing, baik kemampuan jiwa, akal maupun fisik. Akhirnya, dampak dari proses pengkaderan tersebut berhasil mewarnai kondisi politik, ekonomi, sosial dan kekuatan militer yang ada saat itu. Sebagaimana juga berhasil meluruskan setiap aksi dan mengarahkan setiap aktivitas mereka.
 Jadi, ini yang penting untuk aktivis KAMMI : para pelopor dan pengusung perubahan adalah mereka yang merasakan berbagai bentuk penderitaan, mereguk pahitnya perjalanan dan perjuangan, kesalahan dan penyimpangan (baik dalam pemikiran maupun praktik nyata dalam kehidupan). Mereka pula yang merasakan manisnya kebenaran dengan cara melakukan perubahan terhadap apa yang ada pada diri mereka sendiri terlebih dahulu, lalu berusaha mengkristalisasi persepsi-persepsi tertentu dan strategi khusus. Hal ini membawa kepada sebuah kesimpulan, yaitu harus mewujudkan integralitas dan perpaduan seluruh bidang dan potensi, dan mengkondisikan semua institusi dan kelompok dalam sebuah jaringan kolektifitas (jama’i). Setelah itu, mereka mulai menerapkan strategis tersebut selangkah demi selangkah dengan cermat dan penuh perhitungan sehingga berhasil mencapai langkah terakhir, yaitu melakukan persiapan umum dan mendeklarasikan jihad dan dakwah.
Selanjutnya, perlu direnungi bahwa kadar kesuksesan yang mereka raih dalam jihad tersebut sesuai dengan tingkat ketepatan dan keikhlasan mereka dalam menerapkan strategi yang dirancang sebelumnya. Lalu bagaimana dengan aktivis KAMMI saat ini? Silahkan dijawab sesuai dengan kemampuan,  wewenang dan porsinya. Saya hanya berbagi cerita.
Sekelumit kejadian dan kenyataan umat Islam ketika itu dapat dibaca dalam bukunya DR. Majid ‘Irsan Al-Kilani yang berjudul Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib.[8] Alhamdulillah saya sudah membaca buku ini beberapa kali. Sungguh luar biasa. Gaya bahasanya renyah, isinya menggugah. Saya benar-benar tertampar dan selalu terprovokasi untuk membaca dan menyampaikannya kepada siapapun, terutama aktivis KAMMI.
Dalam buku tersebut, Al-Kilani begitu cerdas memberikan gambaran yang terang mengenai Islam setelah ditinggalkan para sahabat, terutama khalifa rosyidin. Beliau hendak memberi clue tentang masalah umat Islam yang dihadapi dulu dan permasalahan umat yang dihadapi pada zaman sekarang ini.
Dalam konteks sekarang—terutama aktivis KAMMI—saya ingin mengatakan : terlalu berat dan berlebihan dalam aspek politik, ekonomi, sosial—dengan meninggalkan dan mengecilkan aspek ilmu dan ulama—akan menjadi bumerang bagi perjuangan Islam di masa depan. Umat Islam (baca : KAMMI) perlu Shalahuddin al-Ayyubi, pahlawan perang dan negarawan yang tangguh. Tapi, di masa perang ilmu, seperti saat ini, umat Islam (baca : KAMM) juga sangat perlu al-Ghazali, yakni ulama dan cendekiawan yang berilmu tinggi, saleh dan gigih dalam menjaga dan mengembangkan ulumuddin; dasar-dasar agama Islam. Bukan saatnya lagi memilah-milah aspek yang perlu didalami. Aktivis KAMMI mesti mendalami berbagai aspek dalam Islam, baik bersifat mendasar maupun yang cabang. Itulah yang membuat rencana dan perang-peran KAMMI semakin punya ruangnya dalam etalase peradaban keumatan di masa depan. Mari berbenah!
            Mari renungi beberapa peringatan berikut :
 Ø³ÙŠØ£ØªÙŠ على الناس زمان لا يبقى من الإ سلام إلا اسمه ولا من القرأن إلا رسمه
Artinya :
“Akan datang kepada manusia suatu zaman bahwa tidak akan tersisa Islam kecuali namanya saja dan tidak pula al-Qur’an kecuali tulisannya saja.” (Misykat)
“Jika kamu melihat keegoan ditaati, nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang yang berilmu membanggakan pendapatnya, maka kamu harus sibuk membenahi diri sendiri dan hindarkan dirimu dari urusan orang banyak.”[9]
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu dan lisanmu.”[10]
Di atas segalanya, inilah idealnya yang menyemangati aktivis KAMMI untuk selalu mempersiapkan diri dan terlibat nyata dalam perjuangan Islam : Sekalipun banyak prestasi Islam dalam peradaban—dan saat ini dalam kadar tertentu masih dilampaui oleh Barat—tetapi ada prestasi yang belum dapat dilampaui oleh Barat (baca: Krsiten) yaitu keberhasilan Islam dalam melahirkan manusia-manusia yang luar biasa di pentas sejarah. Dalam dunia politik Islam telah melahirkan banyak pemimpin yang sangat besar kekuasaan politiknya, tetapi sekaligus orang-orang yang sangat tinggi ilmunya dan sangat sederhana hidupnya.[11]
Bumi pertiwi dan seluruh semesta Melayu akan menjadi saksi bahwa seluruh elemen umat Islam Indonesia, terutama generasi muda Islam—termasuk aktivis KAMMI—akan melanjutkan peran-peran strategis tersebut, insya Allah. Akhirnya, mengutip pernyataan Mohammad Natsir, salah satu tokoh Masyumi dan Perdana Menteri RI, dalam buku Percakapan Antar Generasi : Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989), “Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut!” Wallahu a’lam bi showab. [Jakarta, 10 Januari 2012]

sumber http://akarsejarah.wordpress.com/2012/02/21/menjawab-keresahan-aktivis-kammi/