Saturday 29 September 2012

Menjawab Keresahan Aktivis KAMMI




*ini tulisan Syamsuddin Kadir, ayah Azka Syakira, Kaderisasi KAMMI Pusat 2011-2013
Cerita Awal
Beberapa waktu yang lalu saya mendapat pesan di inbox facebook, SMS, telepon bahkan email dari beberapa kader KAMMI dari pelosok nusantara. Banyak pesan yang disampaikan, seperti pola pengkaderan KAMMI, kualitas atau output pengkaderan KAMMI, kemandirian pengkaderan KAMMI, kefakuman tradisi intelektual KAMMI hingga kegamangan gerakan (eksternal) KAMMI.
Saya terkejut mendapatkan semua itu, sebab dari hari ke hari pernyataan-pernyataan sejenis terus bermunculan. Entah mengapa, yang jelas itu yang saya dapatkan. Ada yang menggunakan bahasa yang cukup “kasar”, nada yang cukup keras dan seterusnya. Ada juga yang lembut, santai dan akur. Walaupun hanya dari beberapa kader, bagi saya, itu cukup dijadikan renungan bagi siapapun yang mencintai organisasi berusia belia ini. Apalagi pada 29 Maret 2012 KAMMI sudah berusia genap 13 tahun. Artinya, 30 Maret 2012 KAMMI segera memasuki awal-awal usia 14 tahunnya.
Menjawab Keresahan
Bagi saya—terutama sebagai bagian Bidang Pembinaan Kader (BPK) KAMMI Pusat periode 2011-2013 ini—semua itu adalah wujud kecintaan dan kepedulian aktivis KAMMI kepada KAMMI, sebuah rumah indah dimana mereka “tinggal” hingga kini. Karena itu, cara terbaik yang mesti saya hadirkan adalah menjadi “lidah” terbaik bagi KAMMI—walaupaun hanya ‘manusia biasa’ di KAMMI. Walau begitu, sebagai ‘manusia biasa’ di KAMMI yang merasa “tertampar”, baik sebagai BPK KAMMI Pusat maupun sebagai aktivis KAMMI yang cukup lama “tinggal” di KAMMI, saya punya hak untuk “berbicara” dan “membela”. Tentu saja sesuai kemampuan dan porsi saya.
Banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikiran saya : Begitu “santai”, “gamang”, “pragmatis”, “cinta dunia”-nya kah KAMMI saat ini? Apakah KAMMI sudah tidak berpikir jernih mengenai tanggung jawab dan peran besar lagi? Sebegitu “gagal”, “stagnan”, “beku”, “lesu”, atau “mati” kah KAMMI? Begitu “picik”, “dangkal”, “arogan”-nya kah KAMMI? Ah saya tak tahu pasti, karena itu saya tak mau bicara banyak, apalagi menyalahkan tetek bengeknya. Malu sama aktivis-aktivis KAMMI yang ikhlas menjaga stand, yang tak lupa ikut proses pengkaderan, yang setia mengisi pelatihan, yang mengorbankan semua yang dimiliki demi dakwah, yang tak henti mengkampanyekan gerakan tutup aurat, yang sabar jika dighibahin dan difitnah oleh sesama aktivis, yang memaafkan sesama aktivis di kala salah dan khilaf, yang malu dan menjaga diri dari kebiasaan merendahkan sesama KAMMI, yang tidak ridha menjelekkan aktivis KAMMI kapan dan di manapun, yang sabar menanti hasil kerja pergerakan, yang ukhuwahnya selalu diikat, yang imannya terus dipelihara, yang selalu senyum ketika bersua, yang selalu memberikan salam tuk saudaranya, yang selalu mendo’akan kebaikan dan ampunan tuk saudaranya, yang santun kala bersikap, yang sopan dalam bertutur, yang respon terhadap berbagai isu keumatan dan kebangsaan, yang tulisannya tersebar di berbagai media massa, yang tulus mengelola media massa, yang setia hadir aksi, dan ah pokoknya saya malu kepada mereka semua. Karenanya, saya hanya ingin belajar mengatakan sesuatu semampunya. Agar lidah saya kelak tak gamang menjawab pertanyaan Malaikat ketika ditanya tentang waktu, umur, ilmu dan amal. Agar kelak ketika tidak menjadi pengurus KAMMI lagi saya bisa bercerita banyak terutama mengenai betapa indah dan nikmatnya hidup dan berjuang bersama di KAMMI. Betapa mulianya visi dan orientasi pergerakan KAMMI. Ya, saya jadi teringat dengan buku KAMMI yang saya edit, “Mengapa Aku Mencintai KAMMI : Serpihan Hati Para Pejuang”. Apalagi di dalamnya ada pengantar saya, “Karena Mereka Elang Muda”, semakin jatuh cinta ke KAMMI—tentu juga aktivisnya.  
Melalui tulisan ini saya tidak memberi penjelasan yang terlalu rumit, saya hanya mengajak aktivis KAMMI di seluruh dunia untuk banyak belajar dari sejarah yang telah memberi gambaran bagaimana kenyataan umat Islam di masa lalu, salah satunya pada momentum Perang Salib. Terutama bagaimana kaum cendekia berperan ketika itu. Harapannya, aktivis KAMMI mau belajar dan banyak belajar dari sini. Karena sementara ini saya belum memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk menjawab semua pesan ataupun keresahan aktivis KAMMI. Maaf, saya masih belajar. Mohon luruskan jikalau saya salah dan khilaf.
Karena itulah, tulisan ini tak layak saya klaim sebagai jawaban BPK KAMMI atau PP. KAMMI atas berbagai keresahan, karena ia lebih tepat diposisikan sebagai “serpihan suara hati” seorang aktivis KAMMI yang bernama Kadir dari BPK KAMMI Pusat. Entah apakah keresahan sebagian aktivis KAMMI terjawab atau tidak (baca: belum), yang penting saya sudah berusaha “menjawab sekaligus “mengingatkan”.
Banyak hal yang ingin disampaikan, namun sementara waktu saya hanya menyampaikan beberapa hal saja. Sebuah upaya berkontribusi memasifkan tradisi intelektual di KAMMI. Semoga ikhwah fillah berkenan membaca dan merenungi. Selamat membaca dan mengambil manfaat!
Selintas tentang Perang Salib[1]
Saya percaya kalian pernah membaca sejarah Perang Salib. Ya, Perang Salib dimulai pada tahun 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib  berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum Muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Coba bayangkan bagaimana tragisnya kondisi umat Islam ketika itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslim yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid  dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.”[2]
Dari berbagai sumber kita dapat mengetahui bagaimana pasukan Salib membantai kaum Muslim. Penduduk Jerusalem yang dibantai pasukan Salib diperkirakan sekitar 30.000 orang. Puluhan ribu kaum Muslim yang mencari penyelamatan di atap masjid al-Aqsha dibantai dengan sangat sadis. Kekejaman pasukan Salib di Jerusalem memang sangat sulit dibayangkan akal sehat. Entah di mana hati nurani mereka ketika memotong leher dan mencincang daging kaum Muslim. Entah di mana letak toleransi dan penegakan HAM yang mereka kampanyekan.
Supaya kalian tahu, setahun sebelumnya, pada tahun 1098, tentara Salib itu juga telah membunuh ratusan ribu kaum Muslim di Marra’tun Noman, salah satu kota terpadat di Syria. Paus Urbanus II menyebut musuh kaum Kristen sebagai “The Seljuq Turks”. “Seljuk Turks”, kata Paus, adalah bangsa bar-bar dari Asia Tengah yang baru saja menjadi muslim. Bangsa ini telah menaklukkan sebagian wilayah kekaisaran imperium Kristen Bizantium. Paus mendesak agar para ksatria Eropa menghentikan pertikaian antara mereka dan memusatkan perhatian bersama, untuk memerangi musuh Tuhan. Bahkan, kata Paus, bangsa Turki itu adalah bangsa terkutuk dan jauh dari Tuhan. Maka, Paus menyerukan, “membunuh monster tak ber-Tuhan seperti itu adalah suatu tindakan suci; adalah suatu kewajiban Kristiani untuk memusnahkan bangsa jahat itu dari wilayah kita.”[3]
Saya termasuk orang yang memahami bahwa tahap-tahap perang Salib merupakan babak paling pahit dalam perjalanan sejarah Islam. Dan tampilnya Shalahuddin al-Ayyubi sebagai pemimpin umat Islam waktu itu, membalik situasi, menjadi mimpi buruk bagi tentara Salib. Sebuah film yang bagus dalam menggambarkan kisah sukses Shalahuddin al-Ayyubi merebut Jerusalem adalah sebuah film berjudul Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott. Film ini cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih objektif. Wajar jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin al-Ayyubi dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Graud, saat berhasil menaklukkan Damaskus pada tahun 1920 menginjak kakinya di makam Shalahuddin al-Ayyubi, sambil berteriak : “Saladin, Wake up, We are beck!” Sebuah sikap yang mencerminkan betapa bencinya kepada pejuang Islam dan pembela kemanusiaan tersebut.
Karem Armstrong, dalam bukunya, “Holy War : The Crusades and Their Impact on Today’s World”, menguraikan dampak perang Salib dalam bentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Jika pasukan Salib dengan biadab dan bangganya membantai ratusan ribu kaum Muslim, lain halnya saat Shalahuddin al-Ayyubi muncul menjadi pemimpin kaum Muslim, orang Kristen justru dibebaskan tanpa bayaran dan dibiarkan meninggalkan Jerusalem secara nyaman tanpa sedikit pun darah yang keluar ataupun nyawa yang hilang. Sebuah fakta yang susah dilupakan pena sejarah yang jujur dan objektif, seperti susahnya sejarah melupakan fakta bagaimana tragisnya kondisi kaum Muslim menjelang dan pada saat perang Salib. Saya berharap kiranya aktvisi KAMMI mau membaca dan merenungi sejarah Perang Salib. Agar tak salah kaprah dalam melangkah dan melanggengkan peran strategis KAMMI dalan berdakwah.
Al-Ghazali dan Perang Salib
Nah, sekarang saya mengajak aktivis KAMMI untuk mendalami sisi lain dalam Perang Salib. Dalam sejarah Perang Salib (Crusade) terdapat satu fakta sejarah yang cukup strategis untuk dibicarakan, tepatnya mengenai posisi dan peran al-Ghazali. Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lebih dikenal  dengan sebutan Imam Al-Ghazali (450/1058-505/1111).
Dalam sejarah Islam beliau dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Beliau menulis begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme.
Beliau sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, beliau justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu. Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan  sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim. Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.
Jika dikaji secara mendalam, sebetulnya, tidak diragukan lagi beliau adalah seorang tokoh dalam mazhab Syafi’i, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al-‘ain. Pakar Fiqih Islam, Wahbah al-Zuhayliy  mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ‘ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Damascus: Dar al-Fikr, 1997).
Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade. Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan Salib. Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dimashqiyyah juga menyalahkan sufisme al-Ghazali.  Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa posisi al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling). Tentang posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta dan alasan Imam al-Ghazali.”  (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).
Adalah menarik memang, bahwa dalam karya terbesarnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Beliau mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebut tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah Swt. : “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas  orang-orang yang duduk.” (Qs. al-Nisa : 95).
Al-Kilani menjelaskan bahwa usaha yang dilakukan oleh al-Ghozali adalah mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan (qobiliyyat al-bazimah) daripada menangisi segala bentuk kekalahan (mazbahir al-bazimah) yang diderita olehnya, persis seperti gagasan Malik bin Nabi di abad ini yang menyuruh agar mengkaji tentang kondisi umat yang layak dijajah (al-qobiliyyat li al-isti’mar) daripada hanya terus mengecam penjajahan.[4]
Menurut al-Ghozali, lanjut Al-Kilani, masalah yang paling besar adalah rusaknya muatan pemikiran dan diri kaum Muslim yang berkenan dengan aqidah dan sosial, sedangkan di luar itu hanya merupakan gejala-gejala lahiriah yang akan hilang dengan sendirinya apabila akar penyakit utamanya berhasil disembuhkan.[5]
Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh,  al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang  hal ini. Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.”
Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali bin Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada tahun 1105 (498 H),  enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut  dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.[6]
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi (baca: prakondisi) yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual”  kaum Muslim ketika itu.  Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan Pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral”  dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak (baca: prakondisi) sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.
Sungguh sebuah terobosan yang sangat jenial. Saya beranggapan kisah ini sangat menarik dan mengandung pelajaran berharga yang layak dipahami oleh aktivis KAMMI di zaman ini dan ke depan. Coba perhatikan kisah selanjutnya.
Dalam naskah Kitab al-Jihad  yang diringkas oleh Niall Christie,  al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafi’i dan al-Ghazali tentang jihad. Di antaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai. (Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of ‘Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie.http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).
Jihad Ilmu ala al-Ghazali        
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Ya, saya memahami bahwa beliau bukan acuh atau tidak berkontribusi dalam Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah, menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan umat Islam. Karena itulah, para ulama terkemuka seperti al-Ghazali ketika itu berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud,  dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang  cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul ‘Ilmi).
Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius oleh aktivis KAMMI. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).
Al-Ghazali benar-benar memahami isyarat hadits tersebut. Beliau berkeyakinan bahwa memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi”  sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. Hal ini selaras dengan apa yang Allah isyaratkan dalam al-Qur’an. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.”  (QS. al-Hadid : 25).
Mohon izinkan saya untuk melanjutkan penjelasan ini. Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun beliau berilmu tinggi dan mendapatkan peluang  besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi beliau justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada tahun 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. Bukan kah ini sebuah prestasi gemilang yang layak diambil hikmahnya oleh aktivis KAMMI?
Renungan Bagi Aktivis KAMMI
Saya termasuk orang yang tercengang dengan fakta sejarah Perang Salib. Kekalahan umat Islam dalam babak-babak awal perang Salib memunculkan banyak keanehan. Islam yang ketika itu tampil sebagai peradaban yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peradaban Barat justru mengalami kekalahan, dan Jerusalem bisa ditaklukkan oleh pasukan Salib dari tahun 1099-1187. Ada apa dengan kaum Muslim ketika itu?
Bahwa tragisnya kondisi kaum Muslim menjelang dan pada saat perang Salib adalah sebuah fakta yang susah dilupakan pena sejarah—terutama sejarah Islam. Dari (1) penyakit cinta dunia para penguasa yang susah diperbaiki, (2) para tentara yang terkena penyakit lupa agama dan tak berperan membela kebenaran yang begitu akut, (3) sebagian ulama yang tergoda fitnah kekuasaan dan kepentingan sesaat lainnya, (4) umat Islam yang malas memahami dan mengamalkan sumber utama Islam berupa al-Qur’an dan as-Sunnah, (5) pengikut aliran dan mazhab bertaklid dan saling mencaci maki dengan pengikut aliran dan mazhab yang berbeda, (6) virus politik yang mendominasi berbagai kalangan, (7) amar ma’ruf nahyi mungkar yang hampir hilang, hingga (8) perpecahan umat Islam dalam bentuk kelompok-kelompok, juga (9) generasi muda yang taklid kepada generasi tua tanpa ilmu, pemahaman dan rasionalitas.
Tidak ada yang menyangkal, bahwa kekalahan kaum Muslim dari pasukan Salib pada akhir 5 H merupakan salah satu tragedi terbesar yang dialami oleh umat Islam. Namun lebih dari sekadar menangisi sebuah tragedi, kita dituntut untuk merenung lebih jauh, faktor apa yang membuat umat yang mendapat gelar “Umat Terbaik” ini bisa terpuruk, bahkan tidak berdaya sedikitpun saat menghadapi serangan Salibis itu. Kesimpulannya, tentu ada sesuatu yang tidak beres dengan umat Islam. Ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat Islam setelah ditinggalkan oleh generasi emas sebelumnya.
Rasulullah Saw. adalah salah satu potret manusia ideal dalam sejarah kehidupan manusia. Mari renungi secara mendalam salah satu sabda beliau dalam sebuah hadits berikut ini.
“Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda : Apabila umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut dari mereka kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma’ruf nahyi mungkar, maka mereka akan terhalang dari keberkahan Wahyu. Dan apabila umatku saling menghina, maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah.”(HR. Hakim, Tirmizi—Darul Mantsur)
Pertanyaannya : Apakah umat Islam ketika itu sudah mengagungkan dunia, sehingga Allah mencabut kehebatan Islam dalam perjuangan mereka? Apakah umat Islam ketika itu meninggalkan amar ma’ruf nahyi munkar, sehingga mereka terhalang mendapatkan keberkahan al-Qur’an? Dan Apakah umat Islam ketika itu saling menghina, sehingga mereka mendapatkan kekalahan dari musuh-musuh Allah? Jujur, saya termasuk yang masih mencari kebenaran dan fakta sejarah Perang Salib. Yang jelas, hadits tersebut perlu dibaca dan direnugi oleh aktivis KAMMI. Bahkan saya mengusulkan agar sesering mungkin. Jangan malas atau enggan merenungi hadits sang nabi. Hayo semangat!
Selanjutnya, saya mengajak aktivis KAMMI untuk memahami makna dan pesan salah satu firman Allah berikut ini. Allah Swt. berfirman,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Qs. Asy-Syuraa : 20)
Saya tidak perlu menjelaskan apa maksud ayat tersebut. Karena saya percaya aktivis KAMMI sudah sering membaca dan merenunginya. Silahkan berbagai kepada sesama, apa maksud dan pesan-pesan ayatnya.
Oh ya, mari kita lanjutkan. Kita bersyukur, bahwa 90 tahun kemudian, tampil Shalahuddin al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hiththin sebagai pembuka jalan untuk merebut Palestina kembali. Apa gerangan yang terjadi? Apakah Shalahuddin al-Ayyubi seorang utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat Islam? Apakah Shalahuddin al-Ayyubi seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan segala keistimewaan pribadinya? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Shalahuddin al-Ayyubi adalah pelanjut Imam Zanki dan anaknya Nurudin Zanki yang sudah mempersiapkan mimbar baru untuk masjidil Aqsha jauh sebelum itu.
Dalam konteks Perang Salib dan upaya membangkitkan peradaban Islam pada saat ini juga di masa depan, tentu Shalahuddin al-Ayyubi tidak sendiri. Sebab, kita tidak mungkin melupakan peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam yang hidup dalam kurun waktu tersebut, seperti al-Ghazali, Abdul Qodir al-Jaelani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dan sederatan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat Islam.
Alhasil, Shalahuddin al-Ayyubi hanya seorang juru bicara resmi dari sebuah generasi yang telah mengalami proses penggodokan dan perubahan. Sebuah generasi yang telah berhasil melampaui kesalahan-kesalahan masa lalu yang ditorehkan oleh para pendahulu dan meneruskan peran-peran perjuangan mereka. Bahwa Shalahuddin al-Ayyubi—sebagaimana Muhammad Al-Fatih[7]—tidak lebih dari salah satu komponen sebuah generasi baru yang telah melalui proses pengkaderan yang matang. Mereka telah melakukan proses konstruksi model manusia seperti pemikiran, persepsi, nilai, tradisi dan kebiasaannya. Kemudian mereka dipersiapkan untuk menempati posisi-posisi yang sesuai dengan kesiapan dan kemampuan masing-masing, baik kemampuan jiwa, akal maupun fisik. Akhirnya, dampak dari proses pengkaderan tersebut berhasil mewarnai kondisi politik, ekonomi, sosial dan kekuatan militer yang ada saat itu. Sebagaimana juga berhasil meluruskan setiap aksi dan mengarahkan setiap aktivitas mereka.
 Jadi, ini yang penting untuk aktivis KAMMI : para pelopor dan pengusung perubahan adalah mereka yang merasakan berbagai bentuk penderitaan, mereguk pahitnya perjalanan dan perjuangan, kesalahan dan penyimpangan (baik dalam pemikiran maupun praktik nyata dalam kehidupan). Mereka pula yang merasakan manisnya kebenaran dengan cara melakukan perubahan terhadap apa yang ada pada diri mereka sendiri terlebih dahulu, lalu berusaha mengkristalisasi persepsi-persepsi tertentu dan strategi khusus. Hal ini membawa kepada sebuah kesimpulan, yaitu harus mewujudkan integralitas dan perpaduan seluruh bidang dan potensi, dan mengkondisikan semua institusi dan kelompok dalam sebuah jaringan kolektifitas (jama’i). Setelah itu, mereka mulai menerapkan strategis tersebut selangkah demi selangkah dengan cermat dan penuh perhitungan sehingga berhasil mencapai langkah terakhir, yaitu melakukan persiapan umum dan mendeklarasikan jihad dan dakwah.
Selanjutnya, perlu direnungi bahwa kadar kesuksesan yang mereka raih dalam jihad tersebut sesuai dengan tingkat ketepatan dan keikhlasan mereka dalam menerapkan strategi yang dirancang sebelumnya. Lalu bagaimana dengan aktivis KAMMI saat ini? Silahkan dijawab sesuai dengan kemampuan,  wewenang dan porsinya. Saya hanya berbagi cerita.
Sekelumit kejadian dan kenyataan umat Islam ketika itu dapat dibaca dalam bukunya DR. Majid ‘Irsan Al-Kilani yang berjudul Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib.[8] Alhamdulillah saya sudah membaca buku ini beberapa kali. Sungguh luar biasa. Gaya bahasanya renyah, isinya menggugah. Saya benar-benar tertampar dan selalu terprovokasi untuk membaca dan menyampaikannya kepada siapapun, terutama aktivis KAMMI.
Dalam buku tersebut, Al-Kilani begitu cerdas memberikan gambaran yang terang mengenai Islam setelah ditinggalkan para sahabat, terutama khalifa rosyidin. Beliau hendak memberi clue tentang masalah umat Islam yang dihadapi dulu dan permasalahan umat yang dihadapi pada zaman sekarang ini.
Dalam konteks sekarang—terutama aktivis KAMMI—saya ingin mengatakan : terlalu berat dan berlebihan dalam aspek politik, ekonomi, sosial—dengan meninggalkan dan mengecilkan aspek ilmu dan ulama—akan menjadi bumerang bagi perjuangan Islam di masa depan. Umat Islam (baca : KAMMI) perlu Shalahuddin al-Ayyubi, pahlawan perang dan negarawan yang tangguh. Tapi, di masa perang ilmu, seperti saat ini, umat Islam (baca : KAMM) juga sangat perlu al-Ghazali, yakni ulama dan cendekiawan yang berilmu tinggi, saleh dan gigih dalam menjaga dan mengembangkan ulumuddin; dasar-dasar agama Islam. Bukan saatnya lagi memilah-milah aspek yang perlu didalami. Aktivis KAMMI mesti mendalami berbagai aspek dalam Islam, baik bersifat mendasar maupun yang cabang. Itulah yang membuat rencana dan perang-peran KAMMI semakin punya ruangnya dalam etalase peradaban keumatan di masa depan. Mari berbenah!
            Mari renungi beberapa peringatan berikut :
 Ø³ÙŠØ£ØªÙŠ على الناس زمان لا يبقى من الإ سلام إلا اسمه ولا من القرأن إلا رسمه
Artinya :
“Akan datang kepada manusia suatu zaman bahwa tidak akan tersisa Islam kecuali namanya saja dan tidak pula al-Qur’an kecuali tulisannya saja.” (Misykat)
“Jika kamu melihat keegoan ditaati, nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang yang berilmu membanggakan pendapatnya, maka kamu harus sibuk membenahi diri sendiri dan hindarkan dirimu dari urusan orang banyak.”[9]
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu dan lisanmu.”[10]
Di atas segalanya, inilah idealnya yang menyemangati aktivis KAMMI untuk selalu mempersiapkan diri dan terlibat nyata dalam perjuangan Islam : Sekalipun banyak prestasi Islam dalam peradaban—dan saat ini dalam kadar tertentu masih dilampaui oleh Barat—tetapi ada prestasi yang belum dapat dilampaui oleh Barat (baca: Krsiten) yaitu keberhasilan Islam dalam melahirkan manusia-manusia yang luar biasa di pentas sejarah. Dalam dunia politik Islam telah melahirkan banyak pemimpin yang sangat besar kekuasaan politiknya, tetapi sekaligus orang-orang yang sangat tinggi ilmunya dan sangat sederhana hidupnya.[11]
Bumi pertiwi dan seluruh semesta Melayu akan menjadi saksi bahwa seluruh elemen umat Islam Indonesia, terutama generasi muda Islam—termasuk aktivis KAMMI—akan melanjutkan peran-peran strategis tersebut, insya Allah. Akhirnya, mengutip pernyataan Mohammad Natsir, salah satu tokoh Masyumi dan Perdana Menteri RI, dalam buku Percakapan Antar Generasi : Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989), “Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut!” Wallahu a’lam bi showab. [Jakarta, 10 Januari 2012]

sumber http://akarsejarah.wordpress.com/2012/02/21/menjawab-keresahan-aktivis-kammi/

No comments:

Post a Comment