( Catatan Kecil Dialog Etika dan Budaya Politik dalam Mewujudkan Good Governance in Indonesia )
Oleh Nurul Azizah
Ketua BEM STAI Miftahul ‘Ulum dan Sekjend KAMMI Daerah Kepulauan Riau
Sebuah perbincangan yang menarik ketika penulis menghadiri dialog yang diselenggarakan oleh Institute of Good Governance in Indonesia pada Sabtu (26/3) yang lalu di Hotel Plaza Tanjungpinang. Dengan mengangkat tema etika dan budaya politik dalam peranannya membangun good governance di Indonesia, INGGRID mampu menghadirkan pembicara yang berasal dari berbagai kalangan, antara lain Syamsul Bahrum, Ph. D mantan calon wakil wali kota Batam 2011-2016; Abdul Karim Ibrahim seorang sastrawan nasional dari Kepulauan Riau serta Bobby Jayanto mantan Ketua DPRD Kota Tanjungpinang yang juga penulis buku The Tiger of Archipelago.
Ketiga pembicara membahas etika dan budaya politik dari berbagai sudut pandang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Syamsul Bahrum mengatakan bahwa struktur politik dalam pemerintahan sudah memasuki era modern seperti penerapan trias politika dengan adanya lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Walaupun demikian hal ini tidak dimbangi dengan modernisasi dalam political culture di mana dapat dibuktikan dari lemahnya etika para politisi saat ini.
Mantan birokrat ini juga mencontohkan bagaimana rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan wali kota Batam Januari 2011 yang lalu, di mana ia juga ikut bertarung sebagai calon wakil wali kota. Menurutnya hal inilah yang akan memunculkan fenomena bahwa wali kota terpilih bukanlah wali kota seluruh masyarakat Batam namun hanya sebagian golongan. Maka jangan heran jika suatu waktu banyak kebijakan dari wali kota yang akan ditentang oleh masyarakat. Nah jika sudah demikian maka siapa yang patut disalahkan?
Dalam pelaksanaan good governance, maka dibutuhkan penopang seperti lembaga publik yang terdiri dari 3 jenis lembaga yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani di mana masing – masing lembaga memiliki tugas dan fungsinya sendiri.
Lebih jauh lagi pria yang menyelesaikan kuliah doktornya di Universitas Queensland, Australia ini mempertanyakan peran partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Menurutnya, partai politik saat ini hanya bermain dan memunculkan dirinya dengan program – program luar biasa ketika musim kampanye tiba. Selanjutnya, begitu pemilu selesai, maka berakhir pula lah kinerja partai politik sementara rakyat kembali dihadapkan pada kenyataan pelaksanaan birokrasi yang berbelit – belit.
Kerangka berpikir masyarakat yang mudah ternyata dipersulit dengan ribetnya birokrasi di tingkat pemerintah. Sebagai contoh, misalnya program dana UKM bagi masyarakat. Masyarakat yang memiliki usaha kecil – kecilan tentunya berharap bahwa dengan program ini pemerintah akan memberikan bantuannya untuk mengembangkan usaha yang telah mereka bangun. Pada kenyataannya untuk mendapatkan dana tersebut bukanlah hal yang mudah disebabkan oleh banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat. Belum lagi proses yang sengaja diperlambat juga sistem birokrasi yang semakin memperparah keadaan.
Di kesempatan itu pula disampaikan bagaimana desentralisasi yang berlaku sejak reformasi berhembus juga membawa dampak tidak baik bagi pemerintah daerah. Jika selama masa orde baru koruptor hanya bermain di tataran nasional, maka dengan sistem desentralisasi tersebut secara tidak langsung juga membawa arus korupsi ke daerah – daerah hingga muncullah istilah ‘korupsi berjamaah’. Sungguh sebuah negeri yang ironis.
Yang menarik dari dialog ini ialah mengenai pernyataan Syamsul Bahrum akan arti sebuah loyalitas pejabat publik. Menurutnya loyalitas seorang pejabat public, dalam hal ini gubernur/walikota/bupati dan para wakil kepala daerah, terhadap partai politik yang menjadi kendaraan politik seharusnya juga berakhir ketika ia telah menjadi pejabat publik. Artinya seluruh tenaga, pikiran dan sumbangsihnya akan ia serahkan pada rakyat tidak lagi pada partai politik setelah menduduki jabatan publik. Hal ini berlaku pula untuk anggota dewan selaku wakil rakyat.
Kenyataan yang banyak kita temui sekarang adalah para politisi yang menjalankan fungsinya sebagai negarawan kadang mengalami pemecatan ketika ia tak lagi segaris dengan kebijakan partai. Sebagai contoh kasus ialah pemecatan dua politisi dari PKB, Lily Wahid dan Effendi Choirie. Meskipun ditampik bahwa alasan pemecatan kedua politisi tersebut bukanlah karena sikap mereka yang bertolak belakang dengan kebijakan partai terkait masalah angket, namun pandangan masyarakat tak dapat dibohongi.
Bobby Jayanto juga menilai bahwa masyarakat tak lagi peduli dengan kinerja pemerintah dan bahkan terkesan sangat cuek, apalagi untuk ukuran masyarakat Kepri yang memang tidak mau menyibukkan diri dalam hal pemerintahan. Di mata masyarakat, pemerintah dikatakan memperhatikan kebutuhan mereka jika kebijakan – kebijakan yang dibuat meningkatkan kesejateraan mereka. Ketika itu belum tercapai, maka pemerintah tetap akan dinilai gagal oleh rakyat.
Penggalakan moral para penguasa merupakan cara efektif dalam mensukseskan good governance khususnya di kota Tanjungpinang, demikian menurut mantan ketua DPRD Kota Tanjungpinang ini. Bobby merasa kecewa dengan sikap pemerintah, terutama para kepala dinas yang begitu ‘dingin’ ketika melayani investor yang ingin berinvestasi. Selama ini pemerintah berkoar – koar akan mendatangkan investor asing ke Kepri namun begitu mereka datang sambutan yang didapat tak lah sehangat yang dibayangkan, bahkan menurut Bobby, tak sedikit kepala dinas yang terkesan menghindari pertemuan dengan investor asing dan mendelegasikannya pada bawahannya. Tentu hasil yang didapat tidak maksimal.
Selanjutnya dalam interaksi peserta dan narasumber, lontaran – lontaran kritikan terhadap ketidak pedulian pemerintah menjadi poin utama. Disampaikan oleh salah seorang peserta bahwa selama ini ia tidak merasakan apa yang diperbuat pemerintah.
Berkaitan dengan masalah partai politik, menurut seorang mahasiswa dalam pertemuan tersebut, seharusnya pemerintah segera memberlakukan reward dan punishment bagi partai politik yang didapati tidak memanfaatkan dana bantuan parpol untuk menjalankan fungsinya sebagai parpol, di mana salah satunya ialah memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat. Karena disadari atau tidak, parpol merupakan unsur penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan good governance in Indonesia.
Oleh Nurul Azizah
Ketua BEM STAI Miftahul ‘Ulum dan Sekjend KAMMI Daerah Kepulauan Riau
Sebuah perbincangan yang menarik ketika penulis menghadiri dialog yang diselenggarakan oleh Institute of Good Governance in Indonesia pada Sabtu (26/3) yang lalu di Hotel Plaza Tanjungpinang. Dengan mengangkat tema etika dan budaya politik dalam peranannya membangun good governance di Indonesia, INGGRID mampu menghadirkan pembicara yang berasal dari berbagai kalangan, antara lain Syamsul Bahrum, Ph. D mantan calon wakil wali kota Batam 2011-2016; Abdul Karim Ibrahim seorang sastrawan nasional dari Kepulauan Riau serta Bobby Jayanto mantan Ketua DPRD Kota Tanjungpinang yang juga penulis buku The Tiger of Archipelago.
Ketiga pembicara membahas etika dan budaya politik dari berbagai sudut pandang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Syamsul Bahrum mengatakan bahwa struktur politik dalam pemerintahan sudah memasuki era modern seperti penerapan trias politika dengan adanya lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Walaupun demikian hal ini tidak dimbangi dengan modernisasi dalam political culture di mana dapat dibuktikan dari lemahnya etika para politisi saat ini.
Mantan birokrat ini juga mencontohkan bagaimana rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan wali kota Batam Januari 2011 yang lalu, di mana ia juga ikut bertarung sebagai calon wakil wali kota. Menurutnya hal inilah yang akan memunculkan fenomena bahwa wali kota terpilih bukanlah wali kota seluruh masyarakat Batam namun hanya sebagian golongan. Maka jangan heran jika suatu waktu banyak kebijakan dari wali kota yang akan ditentang oleh masyarakat. Nah jika sudah demikian maka siapa yang patut disalahkan?
Dalam pelaksanaan good governance, maka dibutuhkan penopang seperti lembaga publik yang terdiri dari 3 jenis lembaga yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani di mana masing – masing lembaga memiliki tugas dan fungsinya sendiri.
Lebih jauh lagi pria yang menyelesaikan kuliah doktornya di Universitas Queensland, Australia ini mempertanyakan peran partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Menurutnya, partai politik saat ini hanya bermain dan memunculkan dirinya dengan program – program luar biasa ketika musim kampanye tiba. Selanjutnya, begitu pemilu selesai, maka berakhir pula lah kinerja partai politik sementara rakyat kembali dihadapkan pada kenyataan pelaksanaan birokrasi yang berbelit – belit.
Kerangka berpikir masyarakat yang mudah ternyata dipersulit dengan ribetnya birokrasi di tingkat pemerintah. Sebagai contoh, misalnya program dana UKM bagi masyarakat. Masyarakat yang memiliki usaha kecil – kecilan tentunya berharap bahwa dengan program ini pemerintah akan memberikan bantuannya untuk mengembangkan usaha yang telah mereka bangun. Pada kenyataannya untuk mendapatkan dana tersebut bukanlah hal yang mudah disebabkan oleh banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat. Belum lagi proses yang sengaja diperlambat juga sistem birokrasi yang semakin memperparah keadaan.
Di kesempatan itu pula disampaikan bagaimana desentralisasi yang berlaku sejak reformasi berhembus juga membawa dampak tidak baik bagi pemerintah daerah. Jika selama masa orde baru koruptor hanya bermain di tataran nasional, maka dengan sistem desentralisasi tersebut secara tidak langsung juga membawa arus korupsi ke daerah – daerah hingga muncullah istilah ‘korupsi berjamaah’. Sungguh sebuah negeri yang ironis.
Yang menarik dari dialog ini ialah mengenai pernyataan Syamsul Bahrum akan arti sebuah loyalitas pejabat publik. Menurutnya loyalitas seorang pejabat public, dalam hal ini gubernur/walikota/bupati dan para wakil kepala daerah, terhadap partai politik yang menjadi kendaraan politik seharusnya juga berakhir ketika ia telah menjadi pejabat publik. Artinya seluruh tenaga, pikiran dan sumbangsihnya akan ia serahkan pada rakyat tidak lagi pada partai politik setelah menduduki jabatan publik. Hal ini berlaku pula untuk anggota dewan selaku wakil rakyat.
Kenyataan yang banyak kita temui sekarang adalah para politisi yang menjalankan fungsinya sebagai negarawan kadang mengalami pemecatan ketika ia tak lagi segaris dengan kebijakan partai. Sebagai contoh kasus ialah pemecatan dua politisi dari PKB, Lily Wahid dan Effendi Choirie. Meskipun ditampik bahwa alasan pemecatan kedua politisi tersebut bukanlah karena sikap mereka yang bertolak belakang dengan kebijakan partai terkait masalah angket, namun pandangan masyarakat tak dapat dibohongi.
Bobby Jayanto juga menilai bahwa masyarakat tak lagi peduli dengan kinerja pemerintah dan bahkan terkesan sangat cuek, apalagi untuk ukuran masyarakat Kepri yang memang tidak mau menyibukkan diri dalam hal pemerintahan. Di mata masyarakat, pemerintah dikatakan memperhatikan kebutuhan mereka jika kebijakan – kebijakan yang dibuat meningkatkan kesejateraan mereka. Ketika itu belum tercapai, maka pemerintah tetap akan dinilai gagal oleh rakyat.
Penggalakan moral para penguasa merupakan cara efektif dalam mensukseskan good governance khususnya di kota Tanjungpinang, demikian menurut mantan ketua DPRD Kota Tanjungpinang ini. Bobby merasa kecewa dengan sikap pemerintah, terutama para kepala dinas yang begitu ‘dingin’ ketika melayani investor yang ingin berinvestasi. Selama ini pemerintah berkoar – koar akan mendatangkan investor asing ke Kepri namun begitu mereka datang sambutan yang didapat tak lah sehangat yang dibayangkan, bahkan menurut Bobby, tak sedikit kepala dinas yang terkesan menghindari pertemuan dengan investor asing dan mendelegasikannya pada bawahannya. Tentu hasil yang didapat tidak maksimal.
Selanjutnya dalam interaksi peserta dan narasumber, lontaran – lontaran kritikan terhadap ketidak pedulian pemerintah menjadi poin utama. Disampaikan oleh salah seorang peserta bahwa selama ini ia tidak merasakan apa yang diperbuat pemerintah.
Berkaitan dengan masalah partai politik, menurut seorang mahasiswa dalam pertemuan tersebut, seharusnya pemerintah segera memberlakukan reward dan punishment bagi partai politik yang didapati tidak memanfaatkan dana bantuan parpol untuk menjalankan fungsinya sebagai parpol, di mana salah satunya ialah memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat. Karena disadari atau tidak, parpol merupakan unsur penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan good governance in Indonesia.
Ji, kirim2 tulisan2 macam ni ke public media. mana tau dimuat di kolom opini atau yang lain.
ReplyDeletebiar numpang keren juga gitu,
hahah :D
yang ini belum aku kirim gie
ReplyDeleteTulisan 'Mengkritisi Dialog' itu aja yang dimuat di koran Putra Kelana, lupa edisi kapan