Ini adalah cerita yang cukup memalukan bagi saya sendiri terutama di masa awal kepengurusan di organisasi internal kampus. Rasanya ingin saya mengatakan "tak ada gading yang tak retak", namun apa daya saya hanya bisa terdiam ketika itu.
Ujian Akhir Semester membuat saya cukup kelimpungan dalam persiapan secara administrasi. Selama ini saya hampir tidak pernah memikirkan masalah administrasi kampus karena longgarnya peraturan dari kampus itu sendiri kepada mahasiswanya.
Biasanya untuk UAS hal penting yang harus dimiliki meliputi kartu mahasiswa, kartu perpustakaan, kartu rencana studi yang sudah ditandatangani semua dosen yang bersangkutan serta kartu ujian. Nah saya merupakan salah satu mahasiswa yang masih cuek dengan hal - hal seperti itu. Hingga tiba hari H UAS dilaksanakan saya kelimpungan untuk mendapatkan kartu perpustakaan, syukurlah 10 menit sebelum ujian berlangsung petugas perpustakaan akhirnya bersedia juga memberikan saya kartu tersebut.
Tibalah waktu ujian. Saya gelisah sekali karena kali ini kami diawasi langsung oleh Kepala BAAK yang cerewetnya minta ampun kalau sudah berurusan dengan persyaratan ujian. Seperti yang sudah ditebak, tepat setelah kertas ujian dibagikan, ia mulai berjalan memeriksa kelengkapan ujian kami.
Biasanya saya bisa dengan mudah lolos namun tidak kali ini. Kekesalan dosen ini bermula dari salah satu teman saya yang belum mengisi KRS sama sekali. Dosen itu pun mengambil kertas ujian dan tidak mengizinkan teman saya itu untuk ikut ujian. Untungllah tak lama setelah itu, meskipun dengan ketegangan yang sangat tinggi, dia masih bisa ikut ujian.
Giliran saya diperiksa. Pada awalnya saya berusaha untuk santai karena saya sudah tahu saya salah karena beberapa dosen belum menandatangani KRS. Dengan tiba - tiba dosen itu langsung berbicara lantang di depan kelas , "Nih lihat! Ketua BEM! Sang ketua sendiri belum mendapatkan tanda tangan."
Berdesir hati saya ketika dia mulai menyebutkan jabatan saya di kampus. Apa daya saya hanya terus berpura - pura menyelesaikan soal ujian yang ada di depan mata.
"Kalau kamu mahasiswa biasa saya bisa memaklumi. Tapi ini seorang ketua BEM, pejabat teras di kampus tidak mampu memberikan contoh yang baik!!"
Merahnya telinga saya ketika beliau berkata demikian. Rasanya ingin marah, hati saya memberontak dan ingin berkata bahwa bukan keinginan saya untuk jadi ketua BEM di kampus ini. Tentu saja hal itu tidak bisa saya lakukan karena akan semakin membuat malu diri sendiri. Diam memang langkah yang sangat mudah.
Sekian lama saya mencoba menjadi baik dan jadi yang terbaik, hari ini harga diri saya dijatuhkan dan diinjak - injak hanya karena saya seorang ketua yang tidak mampu menjadi teladan. Astagfirullah....
Dipermalukan seperti itu membuat saya ingin meninggalkan kelas dengan segera. Pertanyaan di kertas saya jawab semampunya, saya langsung menyerahkan jawaban pada dosen tersebut kemudian keluar kelas tanpa sedikitpun berani menoleh ke arah teman - teman lain.
Begini rupanya berada di posisi teratas sebuah organisasi, apa pun yang saya lakukan dan katakan menjadi pusat perhatian dan saya yakin menjadi bahan gunjingan bagi siapa saja.
Kembali memori saya bergerak pada pertemuan ke sekian di mata kuliah Administrasi dan Supervisi Pendidikan dengan topik konsep kepemimpinan.
Dosen saya ketika itu mengatakan bahwa, "Memimpin artinya siap menjadi teladan serta memempin adalah membina".
--"
saya memang harus mengakui bahwa yang saya lakukan adalah karena kesalahan saya sendiri dan akhirnya hal tersebut memang merugikan diri serta telah merusak citra diri saya
No comments:
Post a Comment