Tuesday 16 August 2011

Transformasi Nilai Islam ke dalam Kebijakan dan Tata Aturan Kemahasiswaan

Mengapa kita perlu mengisi pos / wilayah siyasi ? bentuk dakwah seperti apa yang bisa dijalankan ?
Pendekatan dakwah yang di lakukan dalam siyasi memang cukup berbeda dengan apa yang dilakukan di dakwiy. Perbedaan mendasar adalah bentuk dari dakwah itu sendiri, seringkali dakwah dalam siyasi terkesan abstrak atau bahkan tidak jelas. Tetapi yakinlah, sesuatu yang abstrak dan tidak jelas, bila dilakukan dengan konsisten akan berdampak besar pula pada akhirnya.

Mengisi sayap dakwah siyasi adalah bagian dari tahapan membangun dakwah kampus yang komprehensif. Pendekatan yang dilakukan memang bernuansa politis, namun itu adalah bagian dari persiapan kita menghadapi dunia politik di luar kampus. Wilayah siyasi dalam bahasan ini meliputi Badan Eksekutif Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Jurusan serta Unit Kegiatan Mahasiswa. Ketiga organisasi kemahasiswaan ini perlu untuk kita sentuh dengan nuansa dakwah, agar penyebaran nilai Islam dapat dirasakan di seluruh penjuru kampus.

Semangat yang coba kita angkat dalam menjalankan dakwah siyasi adalah agar setiap mahasiswa dapat merasakan indahnya Islam dimanapun dia beraktivitas. Selain itu, kita tentu juga berharap dengan adanya dakwah siyasi, sebagai seorang aktivis dakwah, kita akan mampu mengembangkan diversifikasi strategi dakwah yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi dari kampus kita masing-masing. Sehingga bisa kita ambil kesimpulan sederhana, bahwa dakwah siyasi adalah sebuah pola dakwah yang sangat tidak konvensional, berbagai upaya rekayasa, dan siasat sangat dibutuhkan dengan tujuan agar semakin banyak mahasiswa dalam sebuah kampus yang tersentuh oleh nilai Islam.

Kadang, ada yang bertanya, kenapa seorang aktivis dakwah perlu menjadi seorang Ketua Himpunan Mahasiswa atau Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa. Jawaban saya sangat sederhana sekali, ”bila bukan kita, maka siapa lagi?”, dalam konteks ini saya ingin membuka wacana bahwa bila posisi strategis tersebut di isi oleh seorang yang tidak memiliki visi peradaban yang komprehensif, maka apakah organisasi kemahasiswaan tersebut akan berkembang sesuai dengan mimpi yang kita yakini ?.

Keberadaan aktivis dakwah dalam posisi tersebut diharapkan dapat mendorong kebijakan-kebijakan serta program kerja yang menunjang dakwah itu sendiri. Lebih dari itu juga, keberadaan seorang pemimpin dalam lingkungan yang heterogen akan memberikan kesempatan bagi seorang aktivis dakwah untuk menyebarkan nilai Islam melalui kepemimpinannya tersebut. Ia sangat dituntut untuk dapat memberikan keteladanan, dan menunjukkan perbedaan qualitas antara pemimpin dari aktivis dakwah dengan pemimpin yang bukan merupakan aktivis dakwah.

Manfaat lain dari mengisi ruang-ruang kepemimpinan dalam organisasi kemahasiswaan adalah untuk mengoptimalkan sumber daya (manusia, jaringan, serta dana) untuk kebutuhan perwujudan mimpi dakwah. Akses informasi yang dapat di kelola oleh pemimpin organisasi kemahasiswaan dapat juga di manfaatkan dengan seksama untuk kebutuhan pengembangan diri aktivis dakwah dan juga kebutuhan bersama.

Namun, tentu kita tidak hanya bisa berpikir se-sempit itu ketika memimpin sebuah organisasi kemahasiswaan. Massa kampus tentu akan melihat sejauh mana kualitas kita dari pencapaian yang kita raih. Seperti yang saya utarakan sebelumnya, mampukah kita membuat perbedaan ketika memimpin ?. Perbedaan yang positif tentunya, serta dibutuhkan pula perbedaan yang signifikan ketimbang ketika bukan aktivis dakwah yang memimpin.

Dari mana massa kampus menilai kualitas kita ?

Mereka menilai dari apa yang mereka rasakan, itulah fitrah seorang yang dipimpin. Bukan tentang apa yang pemimpin janjikan, tetapi melainkan bukti dan apa yang telah mereka rasakan. Meski menurut kita, kita telah bekerja dengan keras, namun bila massa kampus menilai kita belum optimal, maka kita harus berlapang dada menerima kritikan yang ada serta berusaha untuk terus membuktikan kapasitas kepemimpinan kita.

Inilah yang menjadi tantangan bagi dakwah siyasi, karena ketika ada seorang aktivis dakwah kampus yang ditokohkan, maka ia akan secara langsung dikenal sebagai aktivis dakwah, sehingga segera beban moral dan tanggung jawab ke-Islam-an melekat pada dirinya. Tak pelak, memastikan ADK yang ditokohkan memenuhi kualifikasi kapasitas tertentu menjadi mekanisme yang perlu disiapkan dengan cermat. Jangan sampai ADK yang ditokohkan justru menjadi bumerang bagi dakwah kampus karena ia tidak bisa merepresentasikan dakwah dengan penuh kredibilitas.

Ketokohan tentu akan menjadi sia-sia tanpa kinerja, inilah yang juga perlu disiapkan dengan baik oleh para ADK yang memimpin organisasi kemahasiswaan. Mereka perlu dibekali oleh segala kapasitas dan pengetahuan yang dapat menunjang dan menjadikan ia dapat memberikan perbedaan ketika memimpin. Bila itu bisa di wujudkan, maka akan sangat berdampak sangat signifikan dalam dakwah. Kita dapat memberikan pembuktian serta citra bahwa dengan keberadaan kepemimpinan di tangan ADK adalah sebuah hal yang baik.

Dalam segi program atau kebijakan, dengan keberadaan dakwah siyasi, kita dapat menyisipkan berbagai agenda dakwah kita ke dalam agenda atau wahana formal kemahasiswaan. Seperti contohnya, kita bisa mendorong adanya kegiatan keagamaan di dalam kegiatan kaderisasi mahasiswa, atau dapat juga melalui memastikan tingkat ke-syar’i-an sebuah agenda, seperti tidak adanya kegiatan yang menonjolkan aurat perempuan.  Dengan keberadaan pemimpin kemahasiswaan dari ADK, menjadi sebuah tuntutan bagi kita untuk memastikan keberadaan kita juga bermanfaat untuk membangun lingkungan yang Islami. Memulai segala hal dengan tepat waktu dan di dukung oleh etos kerja yang profesional juga merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan lingkungan yang Islami di kampus.

Selain itu, keuntungan yang dapat dimanfaatkan apabila ADK yang menguasai organisasi kemahasiswaan adalah dengan mendorong penempatan ADK di berbagai lini strategis di organisasi kemahasiwaan tersebit. Seperti bidang kaderisasi, sosial politik atau bidang lain yang dapat memberikan pengaruh bagi perkembangan dakwah.

Segala proses dan upaya mewujudkan kampus yang Islami tentu membutuhkan waktu dan keberlanjutan. Konsistensi dalam pemenangan dakwah siyasi serta regenerasi yang efektif menjadi kuncu utama agar dakwah siyasi ini dapat bermanfaat dan berdampak besar. Seperti yang saya utarakan di awal, bahwa dakwah siyasi ini cukup abstrak hasilnya bila kita hanya melihatnya dalam jangka waktu yang pendek. Namun, bila kita memandang dakwah siyasi adalah sebuah langkah yang berkelanjutan, maka yang abstrak tersebut akan menemukan titik cerahnya.


#copas abis dari blog Pak Ridwansyah Yusuf Achmad, penulis buku Menuju Kampus Madani
http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com/2011/07/31/transformasi-nilai-islam-ke-dalam-kebijakan-dan-tata-aturan-kemahasiswaan/#comment-3090

No comments:

Post a Comment