Seek First to Understand - understand then be understood to build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust
“Mengerti dulu baru dimengerti”
Sebuah pelajaran bagi saya dari apa yang saya alami hari ini. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Saat itu, saya harus merapikan seluruh arsip di sekretariat agar lebih rapi sehingga tidak perlu repot – repot di penghujung kepengurusan nantinya. Lalu tibalah beberapa teman yang tampaknya kelelahan sekali dengan aktivitas mereka hari itu. Kalaulah tidak berpuasa, maka bisa saja saya buatkan mereka minuman pengobat dahaga.
Sekitar empat orang teman – teman laki – laki saya itu kemudian berbincang – bincang berbagai macam masalah, mulai dari keadaan cuaca ( hahaha sebuah topik pembuka yang cukup bagus ) hingga masalah presiden mahasiswa juga manajemen kampus.
Well, saya tidak sedang ingin membahas apa yang sudah mereka bicarakan. Ketertarikan saya di tulisan kali ini lebih kepada bagaimana cara mereka berkomunikasi satu sama lain. Meskipun saya bukan anak komunikasi, namun saya punya dosen super pintar yang bisa saya tanya kapan saja dan di mana saja ( thank you ya Pak Gugle ).
Topik yang menarik namun bagi saya hal ini menggelikan karena gaya komunikasi mereka. Ketika yang satu menceritakan ABC, yang lainnya bicara ABC juga ( duh gak ngerti ya?? ). Bukannya menyambung DEF ( apa sih, permainan huruf gitu maksudnya?? ).
Oke saya sederhanakan. Intinya satu sama lain sepertinya berbicara pada dirinya sendiri dan menurut saya bukan lah pendengar yang baik. Mengapa?
“Ya karena manajemen kampusnya masih kayak gitu, gimana mau maju. Saya….”
“Ada tuh kasus di kampus, padahal rahasia sekali, malah blak blakan blab la bla….”
“Untung juga waktu di posisi itu bla bla bla….”
“Tapi itu lah, nampaknya belum punya nyali lagi untuk bla bla bla…..”
Hahahhaha…. Saya yakin pembaca masih gak ngeh apa yang sedang saya tulis. Anda akan mengerti jika mengalami sendiri kejadiannya. Bagi saya yang ketika itu menjadi pendengar sejati ( kayaknya mereka memang gak menganggap saya tidak ada di sana, sungguh kejam T,T ), tanggapan antara teman yang satu dengan yang lainnya kurang berjalan. Masing – masing hanya melontarkan isu – isu, mengungkapkan pendapatnya sendiri tanpa ada rasa ingin tahu yang lebih pada cerita atau pembicaraan teman yang lain. Hhhhh…… Pembicaraan monoton, kesannya saja yang seperti dialog, tapi sebenarnya monolog.
Proses mendengarkan itu ada, tapi hanya sekedar mendengar. Berdasarkan pada apa yang dikatakan oleh Covey “Seek First to Understand - understand then be understood to build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust” yang artinya mengerti dulu baru dimengerti, maka saya memiliki beberapa kesimpulan, mengapa kadang komunikasi yang kita lakukan tidak berjalan dengan baik.
Covey mengemukakan 5 hukum dalam berkomunikasi secara efektif yaitu respect, empathy, audible, clarity, and humble. Dalam hal ini saya fokus pada empathy sebagai kunci sukses berkomunikasi dengan orang lain.
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Secara khusus Covey menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti. Inilah yang disebutnya dengan Komunikasi Empatik. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. ( http://anik-gurung.tripod.com/id29.html )
Nah ini dia yang saya maksudkan. Berempati terhadap apa yang sedang dibicarakan orang lain merupakan hal yang harus kita pahami bersama. Dan poin penting di hukum kedua ini ialah bagaimana kita bisa menjadi pendengar yang baik.
Lalu pendengar yang baik itu seperti apa? Apakah hanya terdiam seperti patung seraya mendengarkan unek – unek orang yang sedang berbicara pada kita ( ya ampyunn kaku banget! ).
Dalam pemikiran saya, mendengarkan dengan baik tidak hanya sekedar mendegarkan. Orang yang melakukan hal ini kepada saya, terus terang saya akan sangat tidak bersimpati kepadanya. Jika demikian, pembaca tak perlu mencari orang, cukup dengan patung dan bicaralah sepuasnya dengan patung itu :p
Memberi tanggapan atas apa yang sedang dan sudah dibicarakannya merupakan salah satu cara kita untuk menarik simpati dan empati orang lain terhadap kita. Mengapa? Karena di situlah ia yakin bahwa kita benar – benar mendengarkan dan memahami apa yang sudah ia ceritakan. Tanggapan yang diberikan bisa bermacam – macam.
Bisa dengan menanyakan masalah yang sudah diceritakannya lebih jauh. Mengapa begitu? Bukankah harusnya begini? Lalu setelah itu apa? Apa yang ia katakan selanjutnya? Lalu apa yang kau lakukan setelah itu?. Itu merupakan sekelumit contoh yang dapat saya berikan kepada para pembaca.
Saya menyadari bahwa ternyata gaya komunikasi saya selama ini masih belum begitu efektif. Antuasiame itu masih belum maksimal saya tunjukkan pada rekan bicara saya selama ini.
Pernah suatu waktu saya bertemu dengan orang yang selalu bicara tentang dirinya sendiri. Ketika itu saya amat sangat bosan mendengarkannya mengoceh mengenai pribadinya. Yang dapat saya lakukan hanyalah mengatakan, oh ya? Trus apa? Kok gitu? Hehhehe……
Mendengarkan itu tidak mudah. Menjadi pendengar bagi orang lain merupakan salah satu hal yang paling membosankan sedunia bagi sebagaian orang ( tapi toh para konsultan malah bisa mengubahnya menjadi uang heee ). Namun dibalik itu semua, kita bisa mengajak orang lain untuk bersimpati kepada kita. Ketika simpati telah didapat, maka anda akan menjadi orang paling menyenangkan yang pernah ia temui, rasa nyaman pun ia rasakan sehingga tidak segan – segan lagi untuk mencurahkan isi hatinya pada anda.
So, sekarang waktunya jadi sampah informasi bagi orang lain. Gak rugi kok!!
No comments:
Post a Comment