Hari sudah malam.
Tak ada yang bisa saya tuliskan untuk berbagi cerita atau pun hanya sekedar meng-update blog sederhana ini. Namun ketika mata ini sudah mulai memberikan tanda untuk menutup dan meminta haknya, tiba – tiba jari – jari ini tergerak untuk bercerita kepada pengunjung blog sebuah keluhan selama berada di Malang dan DKI Jakarta dalam rangka mengikuti kegiatan Jambore Pemuda Indonesia dan Bakti Pemuda Antar Provinsi tahun 2011.
Ketika hari itu saat saya sedang mengikuti pelatihan kepemimpinan di Hotel Bintan Plaza datanglah telpon dari Pak Zamanes yang bekerja di Disdikpora Kota Tanjungpinang. Dalam percakapan singkat tersebut ia menanyakan kesediaan saya untuk menggantikan teman yang lulus seleksi namun tidak jadi berangkat dikarenakan pekerjaannya yang tak bisa ditinggalkan.
Seperti mendapatkan durian runtuh, hanya butuh waktu beberapa menit sebelum saya mengiyakan dan menyatakan bersedia untuk mengikuti program tersebut. Padahal ketika itu tak terpikirkan sedikit pun tentang kuliah dan berbagai hal lainnya yang harus saya tinggalkan selama hampir 45 hari.
Allah Maha Tahu dan Maha Mengetahui apa yang saat itu sedang saya alami. Di tengah dahsyatnya kefuturan yang saya rasakan, saya merasa Allah memberikan kesempatan ini, tentunya dengan maksud ( menurut pemikiran saya sendiri ) agar saya bisa mengambil hikmah dari perjalanan yang akan saya lalui nanti.
Tentu!
Tanggal 24 Mei, hari itu lah saya bertemu dengan teman – teman dari kabupaten lainnya di Provinsi Kepri. Tanjungpinang, Batam, Karimun, Natuna, Anambas, dan Bintan. Sayang sekali Lingga tidak mengirimkan utusannya untuk kegiatan ini.
Awalnya saya berpikir saya bisa kuat di antara teman – teman yang berasal dari lingkungan yang sama sekali berbeda dengan lingkungan saya. Alhamdulillah di antara 40 peserta tersebut masih ada satu akhwat namun sayangnya kami harus berpisah karena kami tidak satu daerah tujuan.
Di provinsi tujuan selama hampir 40 hari, saya menjalani hari – hari yang sama sekali jauh berbeda dengan hari – hari sebelumnya. Tentunya yang paling kentara saya rasakan ialah jauhnya saya dari komunitas tarbiyah yang telah mengajarkan saya banyak hal selama ini.
Ketika itulah pendirian saya mulai goyah. Saya mulai menyadari bahwa ternyata saya tidak sekuat yang saya pikirkan selama ini. Ada saat – saat di mana saya merasa sangat kesepian, merasa sendiri.
Ada waktu – waktu di mana saya merasa tidak lagi dibutuhkan dan diperhatikan oleh teman – teman di Kepri. Orang tua tentu saja terus menghubungi saya, namun tidak setiap hari. Kerinduan itu tidak terlalu beliau, ayah dan ibu saya perlihatkan kepada saya. Terasa sekali betapa saat itu perasaan saya menjadi terombang ambing. Godaan syaitan itu selalu ada dan saya menyadari tidak punya benteng yang kuat.
Saya merasa, hampir satu bulan tidak berada di Kepri, khususnya Tanjungpinang, tak satu pun teman – teman tarbiyah, yang saya pikir selama ini punya ukhuwah yang kuat serta kepedulian tinggi, menghubungi saya via sms. Saya harus mengirim mereka satu per satu pesan singkat yang menanyakan kabar. Ada yang membalas, ada pula yang tidak.
Betapa terkejutnya saya ketika mendapati bahwa orang – orang yang membalas pesan yang saya kirim dengan rasa hampir putus asa itu adalah mereka yang selama ini tidak pernah terlintas di benak saya.
Beberapa hari saya menjalani kegiatan di Malang dan Jakarta, saya sangat berterima kasih sekali kepada teman – teman sekelas saya di kampus. Entah mengapa perasaan itu menyeruak.
Teman – teman ( yang saya pikir ) seperjuangan tak satu pun yang bertanya bagaimana keadaan saya. Malah ada di antaranya yang mengatakan saya tidak bertanggung jawab karena meninggalkan amanah seenaknya dan merepotkan orang lain menyelesaikan amanah tersebut.
Di saat ini pula lah saya merasakan dan benar – benar merasakan bahwa saya adalah seorang perempuan yang fitrahnya membutuhkan perhatian dari orang lain. Dari orang – orang yang dikasihinya. Tapi itu tidak saya dapatkan dari orang yang saya harapkan. Harapan memang selalu tidak sesuai dengan kenyataan, bukan begitu.
Hampir menangis saat saya menceritakan segalanya pada seorang ustdzah apa yang saya alami ketika berada di Jakarta via chatting di facebook. Jauh dari lingkungan tarbiyah, rentan tergelincir, mudah tergoda untuk mencoba sesuatu yang sebelumnya menjadi prinsip dasar yang tak boleh dilanggar, tak ada yang mengingatkan karena di sana saya diharapkan untuk mengingatkan.
Di akhir saya selalu disuruh untuk terus berprasangka baik kepada saudara – saudara yang ada di Kepri. Mungkin mereka sibuk, mungkin mereka takut mengganggu aktivitas Nurul di Jakarta, mungkin sedang tidak ada pulsa dan kemungkinan – kemungkinan lainnya yang mau tidak mau harus saya turuti. Membersihkan hati itu tidak mudah.
Dari lubuk hati yang paling dalam, ada rasa kekecewaan yang besar yang timbul pada saya. Saya sangat menyadari hal ini sangat sepele dan teramat sepele jika dibandingkan dengan perjuangan mereka di belahan bumi lain untuk menegakkan Islam.
Di Jakarta saya masih bisa makan enak, selalu tiga kali sehari dengan air the setiap paginya. Masih bisa mengenakan pakaian paling bagus dan bersih untuk menampilkan kemuslimahan saya. Masih sangat sehat untuk mengikuti segala bentuk kegiatan dari panitia. Masih sangat beruntung karena diajak ke beberapa tempat menyenangkan di Jakarta. Masih. Semua masih sangat nikmat jika dibandingkan dengan mereka yang tengah mengais makanan, mencium bau darah para syuhada di bumi Palestina.
Namun ruhiyah itu telah pergi begitu saja meninggalkan saya atau jangan – jangan saya lupa membawanya ke Jakarta. Ini bukan lelucon dan bukan lah sebuah gurauan. Mungkin benar saya tidak membawanya bersama saya.
Di tengah kenikmatan itu kekeringan ruhiyah amat sangat terasa. Amalan sunah yang seharusnya wajib bagi saya tak lagi saya kerjakan. Terkadang yang wajib pun terlalaikan. Astaghfirullah…. Tindak tanduk pun sudah kehilangan arahnya.
Tentu saja ini bukan salah siapa – siapa. Ini salah saya sendiri. Karena kelalaian saya dan karena sempitnya pemikiran saya.
Mengapa saya tak bisa menyelesaikan minimal setengah juz per hari? Mengapa saya tak pernah lagi mengerjakan sholat sunnah rawatib, sebelum maupun sesudah sholat wajib? Mengapa saya tak berpuasa sedikit pun selama kegiatan? Mengapa subuh saya selalu telat? Mengapa hafalan saya tak bertambah, malah cenderung semakin menghilang dari kepala? Mengapa wirid pagi dan sore tak lagi rutin saya baca? Mengapa saya tak menghindari khalwat? Mengapa saya melupakan misi dakwah yang seharusnya saya pikul? Mengapa saya tak lagi membaca buku?
Hanya saya yang dapat menjawabnya.
Allah pasti sudah sangat kecewa pada saya. Ia tentunya tak mengira bahwa ternyata kesempatan yang ia berikan tidak saya gunakan untuk mengembalikan ruhiyah yang hampir kosong ketika saya berangkat. Allah pasti marah dengan apa yang saya lakukan selama kegiatan. Allah pastilah tidak senang lagi dengan saya. Dia pasti ingin sekali menghukum saya namun Allah masih menangguhkan hukumannya terhadap saya. Allah tentunya ingin melihat apa saya bisa menyelamatkan diri.
Ingin saya katakan bahwa turunnya ruhiyah selama kegiatan BPAP di Jakarta adalah dikarenakan ukhuwah yang tak pernah hadir. Karena mereka tidak berinisiatif sekedar menanyakan kabar saya. Karena saya merasa jauh dari tarbiyah. Karena sudah lama tak liqo. Karena berada di lingkungan yang rentan dan sama sekali bukan lingkungan saya selama ini yang nyaman.
Tidak! Ini tentu tidak benar!
Bukan mereka yang menyebabkan saya seperti itu. Bukan lingkungan pula yang menjadikan saya tidak lagi berjalan di koridor yang semestinya.
Namun begitulah saya menghibur diri.
Wallahu’alam
Semoga Allah ampuni segala keburuksangkaan saya pada teman – teman dan kepada teman – teman saya mohon maaf.
No comments:
Post a Comment