Dalam sebuah kesempatan dulu di pertemuan para akhwat KAMMI di Depok tahun 2012. Ketika itu aku dan Puri menghadiri Mukernas KAMMI untuk bidang kestari, humas dan pemberdayaan perempuan. Kami berangkat akhir November menginap di sana selama sekitar 5 hari.
Karena kami berbeda bidang maka setelah acara pembukaan, kami berada di ruangan yang berbeda untuk menyamakan frekuensi pengurus KAMMI dari seluruh Indonesia.
Alhamdulillah sungguh kesempatan yang besar, ikut DM1 dari tahun 2008 baru kali itu berkesempatan untuk ikut acara nasional KAMMI. Hehehee....
Nah, bidang pemberdayaan perempuan punya acara sendiri. Engga kayak di bidang lainnya yang kudengar heboh ngomongin program kerja. Mbak Emy dan kawan-kawan BPP pusat rupanya telah mensetting acara untuk pengurus BPP secara khusus. Ga ada program kerja, kegiatan kami lebih kepada dialog dan pencerahan tentang apa itu BPP dan tugasnya serta sosialisasi Sekolah Perempuan Indonesia (yang sampe hari ini gagal kubikin di Kepri, mianhaeyo).
Ada satu hal yang berkesan ketika kami berdialog dengan seorang ummahat yang pernah aktif di KAMMI namun sekarang aktif di salah satu lembaga tinggi di Indonesia. Engga usah aku sebutin deh ya demi menjaga beliau.
Sebagai seorang perempuan, jangan sampai kita ini ga punya kontribusi apa pun dalam dakwah. Masing-masing kita punya potensi dan medan dakwah sendiri. Kalo dalam bukunya Ridwansyah Yusuf Achmad itu, aktivis dakwah kampus punya pos nya sendiri, ada yang di siyasi, ma'nawi dan akademisi.
Nah Ibu ini rupanya model muslimah yang pengen berkontribusi di lahan yang lebih umum. Pernah suatu kali beliau ditawari untuk mengemban amanah di wajihah dakwah di mana wajihah ini menurut aku ibu-ibu muslimah bangetlah. Kegiatannya sungguh feminim hehehe.... Dalam hati aku berkata, kok kita sama sih buk xixixi
Bukannya sok macho atau bagaimana. Tapi aku pikir lahan itu udah banyak banget akhwat yang kelola, tapi kalo lahan kayak beliau gitu kan cuma segelintir. Langka pula, padahal cukup strategis.
Selanjutnya, beliau paling males banget kalo dibilang, "Eh, istrinya ustadz X ya"
Waaah, akhwat, jangan sampe kita itu dikenal karena suami kita. Ini menunjukkan kalo kita menjadi bukan siapa-siapa di jalan ini. Istilahnya nebeng suami. Ga banget.
Ups, bukan bermaksud riya lho ya.
Begini, sebagai aktivis muslimah, kita harus punya branding sendiri. Branding yang terbentuk karena aktivitas kita, karena apa yang kita lakukan. Bukan karena kita menikah dengan ikhwan A atau ustadz X. Kalo cuma dikenal karena ituuuu hehehe....
Sori aja kalo ada yang merasa tersinggung. Tapi ini murni kudapatkan dari pertemuan tahun 2012 itu. Maklum ketika itu kami sedang bicara mengenal personal branding seorang aktivis dakwah perempuan. Mau dikenal sebagai apa dia di masyarakat?
Engga bisa dipungkiri, zaman sekarang personal branding itu jadi hal yang wajib dimiliki oleh aktivis perempuan. Buat yang udah belajar dasar-dasar kehumasan tentu ngerti banget.
Ah ya sudahlah. Yang penting mulai sekarang kita perempuan ini mesti punya personal branding sendiri. Personal branding yang menggambarkan siapa diri kita. Ketika orang menyebut nama kita, maka mereka udah tahu kalo kita ini adalah ini ini dan itu.
Misalnya Nia Daniati, pasti penyanyi. Kalo disebutin Oki Setiana Dewi image yang terbentuk adalah artis muslimah. Ketika disebut Raditya Dika, pastilah blogger. Almarhum Yoyoh Yusroh pastilah dikenal sebagai aktivis dakwah dengan jam terbang yang tinggi. Ippho Santosa, motivator enterpreneur.
Nah kita juga demikian. Apa personal branding-mu?
Jangan sampe kita hanya dikenal sebagai, "Ooooh istrinya ustadz X yaa"
*lagi kepo :D
No comments:
Post a Comment