Di masa orde baru, May Day atau Hari Buruh tidak boleh dirayakan ataupun diperingati seperti yang terjadi di dunia internasional. Hari Buruh yang jatuh tepat pada tanggal 1 Mei merupakan momentum yang selalu dimanfaatkan oleh buruh untuk menyampaikan aspirasi mereka, terutama mengenai masalah kesejahteraan buruh. Hari Buruh yang diperingati tiap tahunnya berawal dari tuntutan para pekerja di Amerika Serikat, yang merebak hingga dunia internasional, agar jam kerja buruh dikurangi hingga hanya delapan jam saja per hari. Oleh karena itu hari buruh identik dengan perjuangan para buruh mendapatkan hak – haknya.
Sejak awal reformasi, hari buruh kembali diperingati oleh buruh di Indonesia di mana pemerintah sebelumnya mengkonotasikan gerakan buruh sebagai gerakan berideologi komunis. Beberapa tahun belakangan hari buruh diperingati melalui aksi buruh di berbagai kota di Indonesia seraya menyuarakan kepada pemerintah untuk membantu dan melindungi mereka dari jeratan kemiskinan dan kebodohan.
Lalu, apa yang setiap tahunnya (mulai dari tahun 2006) selalu diperjuangkan oleh para buruh yang hingga kini masih belum mencapai puncaknya?
Sedikit berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya, tahun 2012 merupakan momentum yang pas bagi buruh untuk menuntut kepada pemerintah sebagai pelindung mereka sesuai dengan amanat Undang – Undang 1945. Pertama, kesejahteraan para buruh yang dilihat dari upah minimum yang mereka terima. Kedua, menegaskan kepada pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM yang ditunda akhir Maret lalu.
Berbicara tentang kesejahteraan buruh, ada sebuah ketimpangan yang diciptakan pemerintah selaku pembuat kebijakan demi melindungi hak – hak rakyat. Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pertimbangan perlindungan terhadap tenaga kerja yang dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Undang – undang ini memberikan jaminan kesejahteraan bagi para buruh dan keluarganya
Sementara itu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak pasal 1 ayat (1) disebutkan yang dimaksud dengan Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
Dari kedua peraturan ini dapat kita simpulkan bahwasanya pemerintah telah bersikap tidak adil terhadap kehidupan para buruh yang sudah berkeluarga karena mereka tidak diatur dalam undang – undang ataupun peraturan menteri. Inilah yang mengakibatkan hingga hari ini kehidupan para buruh masih jauh dari sejahtera. Terbukti dengan masih maraknya demonstrasi yang terjadi di kota – kota besar Indonesia di mana para buruh meminta hak mereka untuk mendapatkan perlindungan Negara agar bisa hidup sejahtera.
Sebenarnya hal yang diinginkan oleh buruh merupakan masalah sederhana yang mampu diselesaikan oleh pemerintah dengan bekerjasama dengan pengusaha ataupun pemilik modal. Buruh yang mendapatkan upah besar secara otomatis akan meningkatkan produktivitasnya dalam menghasilkan barang produksi yang disertai dengan rasa senang dan tenang dalam melakukan pekerjaan. Sementara itu, bagi para pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar tidak harus mengurangi hak – hak para pekerja. Hal inilah yang menjadikan hubungan antara buruh dan pengusaha menjadi tegang padahal keduanya adalah pihak yang saling membutuhkan. Pengusaha membutuhkan buruh untuk berproduksi, sementara buruh membutuhkan pengusaha untuk bisa menghasilkan dan memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu dibutuhkan peran kuat pemerintah di sini.
Sayang dalam kenyataannya, justru pemerintah lah yang semakin mempersulit dan memperburuk hubungan kedua pihak ini. Pertama, ketidakjelasan upah minimum pekerja yang belum mencapai kesepakan akibat peraturan yang saling bertolak belakang. Ditambah lagi tidak adanya tranparansi hasil survey KHL dan mekanisme penentuan upah. Tentu ini semakin membingungkan para buruh sehingga mudah dipermainkan oleh pengusaha yang menentukan upah minimum seenaknya.
Kedua, proses birokrasi yang rumit dan memakan waktu yang lama menimbulkan keengganan investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Pelayanan perizinan yang tidak memuaskan juga membuat para pengusaha lari begitu saja hingga lapangan pekerjaan tidak jadi tercipta. Ketiga, maraknya pungli yang beredar di kalangan pemerintah yang merugikan pengusaha akibat accidental cost yang kemudia berimplikasi pada biaya produksi. Ujung – ujungnya pengusaha mengurangi upah buruh untuk menutupi biaya produksi demi meraup keuntungan.
Hal – hal inilah yang menyebabkan buruh tidak pernah mencapai kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. Apalagi menjelang kenaikan BBM yang direncanakan pemerintah benar – benar mengancam kehidupan para buruh.
Untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang sederhana (namun dipersulit oleh pembuat kebijakan), penulis menawarkan beberapa solusi yang tidak merugikan pihak manapun, baik pengusaha, buruh, maupun pemerintah. Pertama, pemerintah harus merevisi Permendagri No. 17 tahun 2005 yang mengatur standar kebutuhan hidup layak. Pasal yang perlu diubah sudah tentu adalah pasal pertama di mana KHL harus mengacu pada kehidupan buruh/pekerja yang sudah berkeluarga yang disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi di daerah masing - masing. Keluarga yang dimaksud terdiri dari orang tua dan dua orang anak sesuai dengan standar pemerintah melalui program keluarga berencana. Dengan demikian, jaminan pendidikan bagi anak – anak juga terjamin.
Kedua, memberantas pungutan liar yang dilakukan oleh oknum – oknum tidak bertanggung jawab kepada para pengusaha. Hal ini untuk mengurangi pengeluaran perusahaan terhadap biaya – biaya tak terduga yang harus dikeluarkan perusahaan. Ketiga, menyederhanakan proses birokrasi yang berbelit – belit dan mempersingkat waktu pengurusan perizinan usaha agar investor tidak jengah membuka usaha di daerah tersebut sehingga kesempatan untuk menciptakan lapangan pekerjaan lebih terbuka lebar.
Keempat, tidak menaikkan harga BBM sebagaimana yang telah disepakati dalam sidang paripurna akhir Maret 2012 lalu. Apa pun alasannya, menaikkan harga BBM tidak akan menyelesaikan permasalahan buruh, malah akan menambah masalah baru. Harga barang yang melonjak pasti akan mempengaruhi biaya produksi perusahaan sehingga satu – satu jalan bagi perusahaan untuk menyelamatkan diri dari kebangkrutan ialah menurunkan upah buruh atau melakukan pemutusan hubungan kerja. Sekali lagi, yang menjadi korban adalah buruh.
Penulis berharap pemerintah mampu mengambil keputusan yang bijak dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan para buruh juga pengusaha. Dengan demikian tak ada lagi gejolak yang tercermin dalam aksi anarkis para buruh sebagai pelampiasan emosi pada pemerintah yang tak mampu memberikan perlindungan dan menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Selamat menyambut hari buruh.
No comments:
Post a Comment