Apa makna menjadi pengurus organisasi dakwah bagi para kader ? Tentu sangat banyak maknanya, namun saya mengajak anda melihat dari dua aspek ini saja : lahan kontribusi dan lahan kaderisasi. Dua makna penting yang harus menjadi cara pandang kita dalam kehidupan berstruktur atau berorganisasi dakwah.
Pertama adalah lahan kontribusi. Organisasi dakwah telah mendidik dan menyiapkan banyak kader dengan beragam potensi dan keahlian. Semua potensi dan semua keahlian yang dimiliki para kader sangat bermanfaat bagi organisasi dalam mengelola semua aktivitas dan programnya untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Dengan dilibatkannya para kader dalam struktur kepengurusan, telah menjadi lahan berkontribusi yang nyata untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki.
Ada potensi administrasi, ada potensi kepemimpinan, ada potensi manajerial, ada potensi loby, ada potensi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, hukum dan lain sebagainya. Keseluruhan potensi tersebut diwadahi dalam bingkai struktur organisasi, menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat sesuai kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki. Dengan manajemen yang tepat, semua potensi diolah dalam sebuah orkestra kepengurusan yang harmonis, sehingga menghasilkan simponi yang indah, teratur, berirama dan terarah.
Orkestra bisa kacau, atau menghasilkan lagu yang tidak enak didengar, sumbang dan tidak serasi, karena ada bagian dari pemain orkestra yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa tidak melaksanakan tugas dengan baik ? Bisa jadi karena tidak sesuai kemampuan dan keahliannya. Ahli gitar yang diminta memainkan biola tentu tidak akan menghasilkan harmoni yang tepat. Bisa jadi pula karena kualitas dan integritas pribadi yang bersangkutan, yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja dalam tim, atau tidak memiliki obsesi serta cita-cita kemajuan dan perbaikan. Dia tidak peduli kalau konser orkestra tersebut berantakan dan tidak sukses.
Dalam perspektif ini, menjadi pengurus organisasi dakwah di level apapun, di pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa/kelurahan, menjadi lahan bagi kader untuk mengkontribusikan waktu, tenaga, pemikiran dan semua potensi yang dimiliki bagi tercapainya tujuan-tujuan organisasi dakwah. Keterlibatan dalam struktur organisasi menjadi sarana tersalurkannya berbagai kemampuan dan keahlian kader, yang sesuai dengan dinamika internal dan eksternal organisasi tersebut. Ini merupakan makna yang penting, dimana segala potensi kader bisa tersalurkan dalam wahana dan sarana yang tepat untuk dikontribusikan bagi pencapaian tujuan.
Pada sisi yang lain, organisasi dakwah dipenuhi oleh para kader yang memang memiliki kapasitas yang memadai sehingga menyebabkan organisasi menjadi dinamis dan memiliki keunggulan kompetitif. Pada akhirnya bertemulah antara lahan kontribusi kader dengan kebutuhan organisasi dakwah yang dinamis. Potensi kader terkontribusikan secara optimal, pada saat yang sama organisasi dakwah menjadi kuat dan unggul karena dikelola oleh para kader yang penuh potensi.
Namun jangan hanya memandang posisi kepengurusan hanya dari segi lahan kontribusi kader saja, harus digenapkan cara pandang kita dengan memahami bahwa kepengurusan organisasi dakwah adalah lahan kaderisasi. Inilah makna kedua dari kepengurusan organisasi dakwah, dan merupakan makna yang sangat penting bagi sebuah organisasi kader. Menjadi pengurus organisasi adalah lahan melakukan kaderisasi, dimana setiap saat, setiap periode kepengurusan, kader datang silih berganti mengisi pos-pos yang tepat bagi dirinya.
Di sisi ini terjadi sesuatu yang unik, karena kedua makna ini bisa dipandang sebagai sesuatu yang sinergis, namun bisa juga dipandang sebagai sesuatu yang kadang bertubrukan kepentingan. Dalam perspektif sinergis, kepengurusan dalam organisasi dakwah adalah lahan kontribusi bagi potensi kader yang sekaligus menjadi lahan kaderisasi struktural. Namun dalam sisi yang bersebelahan, kadang organisasi harus memilih beberapa personal kader saja untuk menempati pos-pos kepengurusan, sementara kader jumlahnya sangat banyak yang tidak mungkin tertampung semua dalam struktur kepengurusan. Tentu ini pilihan yang sulit.
Dalam setiap prosesi pergantian kepengurusan organisasi dakwah lewat mekanisme Musyawarah, selalu ada suasana khas. Ada pengurus lama yang sudah berpengalaman dan bertambah ilmunya karena telah melaksanakan amanah kepengurusan selama satu atau dua periode, namun ada sangat banyak kader potensial yang siap menempati pos-pos kepengurusan, dengan menjadi pengurus baru.
Para pengurus lama telah menjadi senior, yang karena memiliki pengalaman struktural pada periode sebelumnya, menjadi bertambahlah ilmu, pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan dan kemampuannya dalam menjalankan amanah organisasi. Potensi mereka bertambah besar dan sangat penting untuk dikontribusikan bagi organisasi dakwah. Namun, para senior harus pandai menempatkan diri agar tidak terjebak dalam sebuah suasana status quo, dimana merasa mapan dengan posisi struktural dalam organisasi dakwah sehingga tidak mau digeser atau diganti.
Jika kepengurusan jumud dan statis, tidak memberikan kesempatan kepada kader baru untuk terlibat dalam struktur organisasi, akan menyebabkan kaderisasi mandeg. Kader-kader baru yang terus bermunculan tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran dan pengalaman berstruktur, pada saat yang bersamaan organisasi bisa mengalami kejumudan karena diisi oleh wajah-wajah lama. Untuk itu, pengalaman berstruktur perlu dibuka seluas-luasnya bagi kader-kader baru, agar terjadi dinamisasi dan percepatan kaderisasi.
Hal ini tentu saja tidak menghalangi bagi organisasi untuk tetap mempertahankan beberapa personal lama di beberapa posisi yang dianggap penting dan perlu diisi oleh senior berdasarkan pertimbangan strategis yang ada pada waktu itu. Ada tokoh-tokoh senior yang memang sangat diperlukan untuk menjaga organisasi, namun perlu banyak kader baru yang harus segera dimunculkan. Komposisi tua – muda atau senior – yunior ataua lama – baru menjadi penting untuk menjaga agar organisasi menjadi seimbang dengan adanya kebijakan dan hikmah dari para senior, namun tetap menggelorakan semangat kader-kader muda.
Pada konteks kaderisasi struktural seperti ini, ada banyak kesadaran besar yang harus dibangun di hati dan benak semua kader.
Kesadaran pertama, bahwa kontribusi dakwah tidak selalu dan tidak harus dibangun dalam wadah kepengurusan formal. Sangat banyak lahan kontribusi untuk menyumbangkan segala potensi yang kita miliki di jalan dakwah. Menjadi pengurus adalah salah satu lahan kontribusi, namun tidak mungkin semua kader tertampung dalam struktur kepengurusan formal. Struktur organisasi dakwah selalu lebih sempit dibandingkan dengan jumlah dan potensi kader yang dimiliki. Purna kepengurusan tidak berarti purna kontribusi bagi dakwah, karena kontribusi bisa diberikan dalam berbagai bidang amal salih yang sangat luas.
Kesadaran kedua, bahwa pengalaman berstruktur dalam organisasi dakwah merupakan bagian utuh dari proses tarbiyah (pembinaan dan pengkaderan). Oleh karena itu, para senior harus memberikan tempat dan kesempatan yang luas bagi para kader muda untuk mengalami dan merasakan pengalaman berstruktur tersebut. Pemunculan kader menjadi pengurus baru merupakan sebuah akselerasi pergerakan dakwah, agar semakin banyak kader memiliki kemampuan, ketrampilan dan pengalaman berstruktur. Dengan demikian, organisasi dakwah telah menyiapkan aset yang besar bagi upaya membangun masa depannya.
Kesadaran ketiga, bahwa penempatan kader dalam struktur kepengurusan merupakan amanah dakwah, bukan sebuah pemuliaan atau penghormatan. Artinya, jika ada pengurus baru menggantikan pengurus lama, para pengurus baru ini tengah menerima amanah untuk ditunaikan dengan sepenuh tanggung jawab dan dedikasi, sedangkan para pengurus lama yang tidak lagi mendapatkan amanah kepengurusan bukanlah pihak yang dicampakkan. Kalau menjadi pengurus dimaknai sebagai pemuliaan, maka tatkala tidak terpilih menjadi pengurus akan dimaknai sebagai pembuangan, pencerabutan atau pencampakan potensi. Padahal sama sekali tidak seperti itu maknanya.
Kesadaran keempat, tidak ada rumus pengistimewaan bagi para senior. Dalam organisasi dakwah, senioritas tidak dimaknai dalam konteks pragmatis, misalnya diutamakan dalam penempatan kepengurusan, atau didahulukan dalam penempatan di jabatan publik, diutamakan dalam fasilitas, dan seterusnya. Kepemimpinan bukanlah proses yang terjadi secara “urut kacang”, dimana setiap kader bisa menghitung kapan kesempatan menjadi pemimpin. Tidak seperti itu rumusnya. Untuk menempati posisi kepemimpinan tidak selalu diambil dari orang yang paling senior atau lebih senior, namun lebih kepada pertimbangan kemaslahatan dalam pengertian yang luas. Hal ini penting dipahami, agar kader yang merasa senior tidak tersinggung ketika dirinya tidak ditempatkan dalam posisi kepemimpinan di struktur organisasi.
Kesadaran kelima, bahwa pergantian kepengurusan adalah sebuah keniscayaan. Organisasi perlu diisi berbagai potensi, perlu diregenerasi, perlu disegarkan dengan adanya pergantian. Proses pergantian kepengurusan menandakan denyut kaderisasi berjalan dengan lancar. Tidak mungkin selamanya kader menjadi pengurus organisasi, harus ada batas waktunya. Maka silih berganti kader datang dan pergi mengisi pos-pos struktur organisasi, untuk berkontribusi, dan menjadi lahan kaderisasi.
Kesadaran keenam, bahwa purna kepengurusan berarti memiliki kesempatan lebih luas untuk aktualisasi potensi di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Setelah berkontribusi melalui struktur organisasi dakwah, terbentuklah pendewasaan, pengalaman, kemampuan, ketrampilan yang didapatkan selama masa kepengurusan berlangsung. Hal ini menjadi modal dan bekal untuk membangun ketokohan sosial, membangun jejaring sosial, membangun kredibilitas publik, untuk mengambil peran-peran kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan lebih lanjut.
Kesadaran ketujuh, bahwa tidak ada kamus pensiun dalam aktivitas dakwah. Periodisasi dalam kepengurusan organisasi dakwah memiliki makna proses kaderisasi dan regenerasi yang lancar dan teratur di kalangan kader dakwah. Setiap pengurus organisasi akan pensiun dari kepengurusan, namun tidak ada kata pensiun dari aktivitas kebaikan. Dakwah adalah sebuah dinamika yang berkesinambungan dan terus menerus sampai akhir zaman. Tak pernah ada pensiunan aktivis, walaupun ada aktivis yang futur. Maka kendati tidak berada dalam barisan kepengurusan, tidak berarti selesai berkontribusi.
Bagi kader dakwah, totalitas (tajarrud) artinya adalah memberikan semua potensi yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dakwah. Dengan demikian, tidak terbatas pada amanah kepengurusan formal. Dimanapun kader berada, dimanapun kader beraktivitas, melalui sarana apapun kader berkarya, semua bisa dioptimalkan bagi kepentingan pencapaian tujuan dakwah. Semua tetap terajut dalam kerja sistemik (amal jama’i), yang akan membuahkan hasil yang sistemik pula.
Setelah rampung prosesi pergantian kepengurusan, kita ucapkan selamat bertugas dan mengemban amanah bagi para kader yang mendapatkan peran struktural. Curahkan segala potensi dan kemampuan anda dalam menunaikan amanah kepengurusan, dengan segenap kesungguhan dan dedikasi, dengan segenap kecintaan dan pengurbanan. Optimalkan pembelajaran selama mengemban amanah kepengurusan, sehingga purna kepengurusan nanti anda memiliki banyak sekali ilmu, wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan semakin bertambah potensi yang anda miliki.
Bagi para kader yang telah purna masa khidmahnya dalam struktur kepengurusan formal, kita ucapkan selamat atas keberhasilan memberikan kontribusi terbaik selama masa kepengurusan. Anda telah mendapat pengalaman dan pembelajaran berstruktur yang sangat penting bagi peningkatan kapasitas anda, dan sekarang anda telah memberikan kesempatan kepada kader-kader muda untuk mendapatkan pengalaman dan pembelajaran tersebut. Organisasi dakwah ini adalah sebuah Universitas yang terus mencetak kader untuk semakin lengkap potensinya.
Selamat berkontribusi pada lahan-lahan amal yang baru, di luar struktur kepengurusan organisasi. Ada sangat banyak lahan kontribusi menanti anda, ada sangat banyak kesempatan beramal di jalan dakwah, ada sangat banyak peran yang bisa anda lakukan, tanpa harus berada dalam struktur kepengurusan formal. Semua tetap dalam bingkai amal jama’i yang teratur rapi. Semua tetap dalam satu koordinasi dan konsolidasi untuk mencapai mimpi-mimpi yang kita bangun selama ini.
Itulah beberapa kesadaran besar yang harus kita kuatkan dalam kehidupan dakwah. Jangan ada kader yang merasa dicampakkan, atau dilupakan, atau dibuang, hanya karena dirinya tidak tertampung dalam jajaran kepengurusan. Jangan ada kader yang kecewa dan merasa terhina hanya karena tidak masuk dalam struktur organisasi. Semua kader dakwah mengerti lahan-lahan tempat berkontribusi. Semua kader dakwah memahami untuk tujuan apa terlibat dalam dakwah ini. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Menjadi apapun kita di organisasi dakwah yang kita cintai, atau tidak menjadi apapun. Jangan pernah berhenti.
Fa idza faraghta fanshab, wa ila Rabbika farghab.
Yogyakarta, 7 Januari 2011