Meskipun teman saya selalu mengatakan lebih baik saya menulis hal - hal yang lebih penting, daripada sekedar menulis pengalaman pribadi, hal itu tidak akan mematikan semangat saya dalam menulis apa - apa saja yang pernah saya lewati. Walaupun saya tahu bahwa pengalamannya lebih banyak dan lebih spektakuler dari saya, saya kekeuh untuk menulis apapun yang saya inginkan. Selagi jari jemari saya masih bisa menari di atas keyboard, saya akan terus menuliskan apapun yang saya sukai.
Olimpiade Ilmu Sosial FISIP UI
Jakarta, 12 - 16 Februari 2007
Mengikuti Olimpiade Ilmu Sosial Tingkat Nasional yang diadakan oleh FISIP UI tahun 2007 lalu merupakan sebuah pengalaman luar biasa dan tak akan mungkin terlupakan. Entahlah, apakah hal itu merupakan suatu kebetulan atau memang dikarenakan oleh karya tulis yang kami buat ( lebih tepatnya teman – teman saya ) punya nilai lebih di mata panitia. Yang jelas dan hingga saat ini saya yakini bahwa tentunya hal ini sudah tertulis di catatan sang Pencipta sebagai salah satu scenario dalam hidup kami.
Saya sudah bertekad untuk menuliskannya dalam catatan harian saya begitu kami pulang dari Jakarta, namun entah kenapa hal itu tidak juga saya lakukan. Barulah hari ini ( setelah tiga tahun berlalu ) saya bisa menuliskannya agar kenangan itu tetap membekas dan memberikan dorongan semangat kepada saya, betapa masih banyak hal yang harus dipikirkan dan saya harus selalu produktif.
Berawal dari tawaran dua orang teman saya dari kelas berbeda ( kelas super, demikian saya menyebutnya ) untuk bergabung dengan mereka untuk mengikuti kegiatan ini. Kebingungan dan keheranan menerpa saya, mengapa saya yang dipilih. Padahal saat itu ada banyak teman – teman lain yang punya kompetensi lebih baik dari saya. Alasannya hanya satu, karena beberapa waktu lalu saya adalah salah satu peserta debat antar kelas ( di class meeting akhir semester ). Sebuah keberuntungan.
Mungkin menurut teman – teman penampilan saya cukup baik pada saat itu ( saya sangat menyukai debat itu sendiri ). Saya pun menyetujui untuk bergabung dan mulai bekerjasama untuk membuat karya tulis dengan tema Beyond Disaster. Kami sengaja mengambil contoh kasus Tsunami di Aceh tahun 2004 lalu. Mengupasnya semampu kami dan mencoba menawarkan solusi bagi pemerintah dalam menanggulangi keadaan di Aceh yang pada saat itu jauh dari kelayakan, di mana para korban yang masih hidup tinggal di tempat yang tidak layak.
Singkat cerita, karya tulis yang menurut saya sangat sederhana itu pun dikirim ke Jakarta. Ketika dikirim, saya cukup berharap kami masuk sebagai finalis dan berkesempatan mengikuti kegiatan selanjutnya di Jakarta. Harapan yang tipis itu segera saya tepis karena saya rasa itu adalah hal yang mustahil kami bisa lolos babak seleksi. Setelah itu saya tak lagi berharap dan juga tak berdoa akan kelulusan kami.
Beberapa waktu setelahnya, saya kurang ingat kapan pastinya, kami diberitahu bahwa karya tulis tentang Tsunami di Aceh itu lolos dan termasuk dalam 25 finalis dari seluruh Indonesia. Betapa senang dan bahagianya kami saat itu, khususnya saya. Bagaimana tidak, ini akan jadi perjalanan pertama saya keluar dari pulau Sumatera. Akan ada daerah baru lagi yang akan saya kunjungi, karena satu – satunya kota besar yang pernah saya tempati hanyalah Padang ( Sumatera Barat ) dan Pekanbaru ( Riau ). Selebihnya hanya kota atau pulau kecil. Saya begitu senang hingga terus memikirkan perjalanan itu.
Persiapan Keberangkatan
Begitu pengumuman diterima, dalam waktu cukup singkat orang tua kami dipanggil ke sekolah untuk membicarakan hal ini, yang saya ketahui akhirnya ialah masalah biaya keberangkatan kami. Sekolah ternyata tidak sanggup ( atau tidak mau ) membiayai, yang artinya kami berangkat dengan biaya kami sendiri. Hampir saya tidak percaya akan hal ini, pupus sudah harapan saya. Namun guru pembimbing kami menenangkan kami dan meyakinkan bahwa kami akan berangkat dengan cara apapun. Kami tidak perlu memikirkan biaya ataupun yang lainnya, hanya perlu focus pada persiapan untuk ke sana.
Putus asa tentunya menyerang pribadi saya sehingga tidak banyak persiapan yang saya lakukan. Saya sudah tahu kami pasti tidak akan jadi berangkat untuk mengikuti kegiatan itu.
Takdir berbicara dan kami dikabari bahwa kami akan berangkat pada hari X ( saya lupa harinya ). Bukan main senangnya kami ketika itu, perjalanan impian akan segera dimulai. Kami pulang sekolah lebih awal untuk persiapan esok hari. Tak lupa kami berpamitan pada wali kelas masing – masing yang saat itu wali kelas saya tengah mengajar (malu sekali rasanya ketika saya harus masuk kelas yang sedang diajarnya itu ).
Keberangkatan
Hari bersejarah itu pun dimulai. Kami akan mengikui kegiatan nasional selama 5 hari di ibukota Negara. Begitu pamit dengan orang tua, kami melangkah untuk keberangkatan pertama menuju Batam. Sepertinya saat itu sudah lama sekali saya tidak naik kapal laut, alat transportasi favorit saya walaupun sebagian orang tidak suka karena terombang ambing di tengah laut.
Singkat cerita, kami tiba di bandara Hang Nadim, Batam ( saya menyukai bandara ini ), kemudian masuk ruang tunggu. Berdebar – debar hati saya ketika itu karena akan naik pesawat lagi, alat transportasi yang jarang sekali saya naiki.
Sayang di pesawat saya tidak mendapatkan kursi yang dekat dengan jendela, padahal saya sangat berharap sekali. Tidak apa lah, dalam hati saya berdoa agar pulang nanti saya bisa mendapatkannya. Setidaknya dengan duduk di bagian tepi saya bisa menyaksikan lagi pramugari ‘bisu’ tampil untuk memberikan keterangan pada penumpang tentang upaya penyelamatan seandainya terjadi sesuatu.
Sebelum pesawat take off saya memperhatikan orang – orang di sekeliling saya dan hanya bisa tersenyum geli saat melihat salah satu penumpang tidak tahu bagaimana cara memasang seat belt. Mungkin ini pengalaman pertamanya naik pesawat begitu batin saya. Namun saya berpendapat, setidaknya jika dia mendengar dan memperhatikan pramugari cantik itu dia akan tahu. Huft…. Saya tidak habis piker dengan orang – orang yang kadang tidak mau peduli.
Kemudian ketika saya melongok ke seberang belakang, tempat guru pembimbing kami duduk saya kembali menahan tawa. Seorang bapak yang duduk di sebelah beliau tak hentinya komat kamit entah membaca apa. Masih terpatri di benak saya bahwa secara penampilan dia adalah orang yang punya ilmu agama yang tinggi. Saya tidak habis piker lagi, mengapa orang begitu takut akan sesuatu sebelum hal tersebut terjadi. Mengapa tidak berpikir positif saja dan meyerahkannya pada Allah. Yah, saya tahu dia hanya berdoa, tapi menurut saya berlebihan karena bibirnya tak berhenti untuk komat kamit.
Tibalah saarnya untuk take off dan saya tidak mau melewatkan momen ini karena saya suka dengan sensasi aneh yang timbul ketika pesawat take off. Tak lupa saya berdoa akan kelancaran perjalanan kam. Di detik itu pula kembali saya memperhatikan bapak yang duduk di sebelah guru pembimbing kami, dan semakin geli saya melihatnya. Bibirnya semakin bergerak cepat, dan saya idak pernah tahu apa yang dibacanya. Sementara itu salah satu penumpang menunjukkan ketegangan luar biasa, pastilah ini pertama kalinya ia naik pesawat.
Alhamdulillah the trip is so nice. Bersyukur saya bisa menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta. Dan pikiran yang pertama kali muncul ialah saya membayangkan bahwa di sini lah lokasi syuing Eiffel I’m in Love. Huahahaha naïf sekali ketika itu saya berpikir demikian.
Secara umum saya lebih menyukai bandara Hang Nadim karena di sana lebih bersih daripada di Jakarta. Saya heran dan sekaligus malu, karena saya sempat melihat turis mancanegara dan takut sekali akan pendapat mereka akan bandara ini ( padahal kami sama sekali tidak berkomunikasi ). Dasar, saya terlalu berlebihan!!
Kami dijemput oleh dua orang panitia di bandara dan langsung diantar ke penginapan. Dalam perjalanann saya tidak mau melepaskan mata dari kondisi jalanan yang kami lewati. Ada rasa kagum yang muncul dengan kota ini karena banyaknya gedung – gedung tinggi di kiri kanan jalan, jalan raya yang besar dengan 4 jalur ( klo ga salah ingat ) dan lain sebagainya.
Di Penginapan
Sesampainya di penginapan, saya langsung shalat ashar. Namun karena di tempat baru, saya cukup takut dantidak khusyuk sama sekali. Saya shalat di atas tempat tidur dan membayangkan hal – hal yang menakutkan di penginapan tersebut.
Ternyata kami tidak berada dalam satu kamar yang sama. Panitia mengacak agar tidak ada peserta yang berasal dari satu daerah tidur di kamar yang sama. Saya berkesempatan sekamar dengan teman dari SMAN 1 Depok dan SMAN Frater Don Bosco ( Sulawesi ). Mereka adalah teman sekamar yang cukup menarik bagi saya. Salah satunya datang dengan cukup heboh dan memang merupakan peserta terheboh.
Peserta yang hadir hanya 69 orang dari 23 daerah. Dua daerah tidak dapat mengikuti kegiatan tersebut dan saya cukup kecewa dengan ketidakhadiran mereka. Meskipun begitu saya harus tetap semangat.
OIS 2007
Olimpiade Ilmu Sosial ini merupakan ajang kompetisi ilmu – ilmu sosial bagi siswa/I sekolah menengah atas atau sederajat yang telah diselenggarakan untuk kelima kalinya. Tahun 2007 ini OIS mengambil tema Beyond Disaster mengingat maraknya bencana alam yang terjadi di Indonesia pada waktu itu. Melalui acara ini diharapkan peserta OIS 2007 selain dapat menganalisis masalah juga mampu memberikan solusi dan kontribusi secara langsung terhadapa permasalahan tersebut.
Rangkaian acara Olimpiade Ilmu Sosial 2007 yang diselenggarakan oleh FISIP UI tersebut terdiri dari empat acara inti dan lima acara pendukung. Acara inti meliputi menulis review film dalam bahasa Inggris, analisis masalah, presentasi masalah dan circle of beat. Sementara itu acara pendukung terdiri dari training public speaking, kunjungan ke kantor DPR/MPR, FISIP open house, city tour dan diakhiri dengan malam keakraban.
( bersambung )
Olimpiade Ilmu Sosial FISIP UI
Jakarta, 12 - 16 Februari 2007
Mengikuti Olimpiade Ilmu Sosial Tingkat Nasional yang diadakan oleh FISIP UI tahun 2007 lalu merupakan sebuah pengalaman luar biasa dan tak akan mungkin terlupakan. Entahlah, apakah hal itu merupakan suatu kebetulan atau memang dikarenakan oleh karya tulis yang kami buat ( lebih tepatnya teman – teman saya ) punya nilai lebih di mata panitia. Yang jelas dan hingga saat ini saya yakini bahwa tentunya hal ini sudah tertulis di catatan sang Pencipta sebagai salah satu scenario dalam hidup kami.
Saya sudah bertekad untuk menuliskannya dalam catatan harian saya begitu kami pulang dari Jakarta, namun entah kenapa hal itu tidak juga saya lakukan. Barulah hari ini ( setelah tiga tahun berlalu ) saya bisa menuliskannya agar kenangan itu tetap membekas dan memberikan dorongan semangat kepada saya, betapa masih banyak hal yang harus dipikirkan dan saya harus selalu produktif.
Berawal dari tawaran dua orang teman saya dari kelas berbeda ( kelas super, demikian saya menyebutnya ) untuk bergabung dengan mereka untuk mengikuti kegiatan ini. Kebingungan dan keheranan menerpa saya, mengapa saya yang dipilih. Padahal saat itu ada banyak teman – teman lain yang punya kompetensi lebih baik dari saya. Alasannya hanya satu, karena beberapa waktu lalu saya adalah salah satu peserta debat antar kelas ( di class meeting akhir semester ). Sebuah keberuntungan.
Mungkin menurut teman – teman penampilan saya cukup baik pada saat itu ( saya sangat menyukai debat itu sendiri ). Saya pun menyetujui untuk bergabung dan mulai bekerjasama untuk membuat karya tulis dengan tema Beyond Disaster. Kami sengaja mengambil contoh kasus Tsunami di Aceh tahun 2004 lalu. Mengupasnya semampu kami dan mencoba menawarkan solusi bagi pemerintah dalam menanggulangi keadaan di Aceh yang pada saat itu jauh dari kelayakan, di mana para korban yang masih hidup tinggal di tempat yang tidak layak.
Singkat cerita, karya tulis yang menurut saya sangat sederhana itu pun dikirim ke Jakarta. Ketika dikirim, saya cukup berharap kami masuk sebagai finalis dan berkesempatan mengikuti kegiatan selanjutnya di Jakarta. Harapan yang tipis itu segera saya tepis karena saya rasa itu adalah hal yang mustahil kami bisa lolos babak seleksi. Setelah itu saya tak lagi berharap dan juga tak berdoa akan kelulusan kami.
Beberapa waktu setelahnya, saya kurang ingat kapan pastinya, kami diberitahu bahwa karya tulis tentang Tsunami di Aceh itu lolos dan termasuk dalam 25 finalis dari seluruh Indonesia. Betapa senang dan bahagianya kami saat itu, khususnya saya. Bagaimana tidak, ini akan jadi perjalanan pertama saya keluar dari pulau Sumatera. Akan ada daerah baru lagi yang akan saya kunjungi, karena satu – satunya kota besar yang pernah saya tempati hanyalah Padang ( Sumatera Barat ) dan Pekanbaru ( Riau ). Selebihnya hanya kota atau pulau kecil. Saya begitu senang hingga terus memikirkan perjalanan itu.
Persiapan Keberangkatan
Begitu pengumuman diterima, dalam waktu cukup singkat orang tua kami dipanggil ke sekolah untuk membicarakan hal ini, yang saya ketahui akhirnya ialah masalah biaya keberangkatan kami. Sekolah ternyata tidak sanggup ( atau tidak mau ) membiayai, yang artinya kami berangkat dengan biaya kami sendiri. Hampir saya tidak percaya akan hal ini, pupus sudah harapan saya. Namun guru pembimbing kami menenangkan kami dan meyakinkan bahwa kami akan berangkat dengan cara apapun. Kami tidak perlu memikirkan biaya ataupun yang lainnya, hanya perlu focus pada persiapan untuk ke sana.
Putus asa tentunya menyerang pribadi saya sehingga tidak banyak persiapan yang saya lakukan. Saya sudah tahu kami pasti tidak akan jadi berangkat untuk mengikuti kegiatan itu.
Takdir berbicara dan kami dikabari bahwa kami akan berangkat pada hari X ( saya lupa harinya ). Bukan main senangnya kami ketika itu, perjalanan impian akan segera dimulai. Kami pulang sekolah lebih awal untuk persiapan esok hari. Tak lupa kami berpamitan pada wali kelas masing – masing yang saat itu wali kelas saya tengah mengajar (malu sekali rasanya ketika saya harus masuk kelas yang sedang diajarnya itu ).
Keberangkatan
Hari bersejarah itu pun dimulai. Kami akan mengikui kegiatan nasional selama 5 hari di ibukota Negara. Begitu pamit dengan orang tua, kami melangkah untuk keberangkatan pertama menuju Batam. Sepertinya saat itu sudah lama sekali saya tidak naik kapal laut, alat transportasi favorit saya walaupun sebagian orang tidak suka karena terombang ambing di tengah laut.
Singkat cerita, kami tiba di bandara Hang Nadim, Batam ( saya menyukai bandara ini ), kemudian masuk ruang tunggu. Berdebar – debar hati saya ketika itu karena akan naik pesawat lagi, alat transportasi yang jarang sekali saya naiki.
Sayang di pesawat saya tidak mendapatkan kursi yang dekat dengan jendela, padahal saya sangat berharap sekali. Tidak apa lah, dalam hati saya berdoa agar pulang nanti saya bisa mendapatkannya. Setidaknya dengan duduk di bagian tepi saya bisa menyaksikan lagi pramugari ‘bisu’ tampil untuk memberikan keterangan pada penumpang tentang upaya penyelamatan seandainya terjadi sesuatu.
Sebelum pesawat take off saya memperhatikan orang – orang di sekeliling saya dan hanya bisa tersenyum geli saat melihat salah satu penumpang tidak tahu bagaimana cara memasang seat belt. Mungkin ini pengalaman pertamanya naik pesawat begitu batin saya. Namun saya berpendapat, setidaknya jika dia mendengar dan memperhatikan pramugari cantik itu dia akan tahu. Huft…. Saya tidak habis piker dengan orang – orang yang kadang tidak mau peduli.
Kemudian ketika saya melongok ke seberang belakang, tempat guru pembimbing kami duduk saya kembali menahan tawa. Seorang bapak yang duduk di sebelah beliau tak hentinya komat kamit entah membaca apa. Masih terpatri di benak saya bahwa secara penampilan dia adalah orang yang punya ilmu agama yang tinggi. Saya tidak habis piker lagi, mengapa orang begitu takut akan sesuatu sebelum hal tersebut terjadi. Mengapa tidak berpikir positif saja dan meyerahkannya pada Allah. Yah, saya tahu dia hanya berdoa, tapi menurut saya berlebihan karena bibirnya tak berhenti untuk komat kamit.
Tibalah saarnya untuk take off dan saya tidak mau melewatkan momen ini karena saya suka dengan sensasi aneh yang timbul ketika pesawat take off. Tak lupa saya berdoa akan kelancaran perjalanan kam. Di detik itu pula kembali saya memperhatikan bapak yang duduk di sebelah guru pembimbing kami, dan semakin geli saya melihatnya. Bibirnya semakin bergerak cepat, dan saya idak pernah tahu apa yang dibacanya. Sementara itu salah satu penumpang menunjukkan ketegangan luar biasa, pastilah ini pertama kalinya ia naik pesawat.
Alhamdulillah the trip is so nice. Bersyukur saya bisa menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta. Dan pikiran yang pertama kali muncul ialah saya membayangkan bahwa di sini lah lokasi syuing Eiffel I’m in Love. Huahahaha naïf sekali ketika itu saya berpikir demikian.
Secara umum saya lebih menyukai bandara Hang Nadim karena di sana lebih bersih daripada di Jakarta. Saya heran dan sekaligus malu, karena saya sempat melihat turis mancanegara dan takut sekali akan pendapat mereka akan bandara ini ( padahal kami sama sekali tidak berkomunikasi ). Dasar, saya terlalu berlebihan!!
Kami dijemput oleh dua orang panitia di bandara dan langsung diantar ke penginapan. Dalam perjalanann saya tidak mau melepaskan mata dari kondisi jalanan yang kami lewati. Ada rasa kagum yang muncul dengan kota ini karena banyaknya gedung – gedung tinggi di kiri kanan jalan, jalan raya yang besar dengan 4 jalur ( klo ga salah ingat ) dan lain sebagainya.
Di Penginapan
Sesampainya di penginapan, saya langsung shalat ashar. Namun karena di tempat baru, saya cukup takut dantidak khusyuk sama sekali. Saya shalat di atas tempat tidur dan membayangkan hal – hal yang menakutkan di penginapan tersebut.
Ternyata kami tidak berada dalam satu kamar yang sama. Panitia mengacak agar tidak ada peserta yang berasal dari satu daerah tidur di kamar yang sama. Saya berkesempatan sekamar dengan teman dari SMAN 1 Depok dan SMAN Frater Don Bosco ( Sulawesi ). Mereka adalah teman sekamar yang cukup menarik bagi saya. Salah satunya datang dengan cukup heboh dan memang merupakan peserta terheboh.
Peserta yang hadir hanya 69 orang dari 23 daerah. Dua daerah tidak dapat mengikuti kegiatan tersebut dan saya cukup kecewa dengan ketidakhadiran mereka. Meskipun begitu saya harus tetap semangat.
OIS 2007
Olimpiade Ilmu Sosial ini merupakan ajang kompetisi ilmu – ilmu sosial bagi siswa/I sekolah menengah atas atau sederajat yang telah diselenggarakan untuk kelima kalinya. Tahun 2007 ini OIS mengambil tema Beyond Disaster mengingat maraknya bencana alam yang terjadi di Indonesia pada waktu itu. Melalui acara ini diharapkan peserta OIS 2007 selain dapat menganalisis masalah juga mampu memberikan solusi dan kontribusi secara langsung terhadapa permasalahan tersebut.
Rangkaian acara Olimpiade Ilmu Sosial 2007 yang diselenggarakan oleh FISIP UI tersebut terdiri dari empat acara inti dan lima acara pendukung. Acara inti meliputi menulis review film dalam bahasa Inggris, analisis masalah, presentasi masalah dan circle of beat. Sementara itu acara pendukung terdiri dari training public speaking, kunjungan ke kantor DPR/MPR, FISIP open house, city tour dan diakhiri dengan malam keakraban.
( bersambung )
No comments:
Post a Comment