Thursday, 23 September 2010

Konsep Dasar Kerja Pers


-->
Dalam bukunya Fikih Jurnalistik, Faris Khoirul Anam menuliskan lima konsep dasar kerja pers yang mesti menjadi pegangan bagi siapa pun yang melibatkan diri dalam dunia pers.  Ketika menyebutkan kata pers, maka yang terbayang dibenak kita adalah kegiatan yang berhubungan dengan berita dan memberitakan. Kelima konsep dasar kerja ini bukanlah untuk membatasi aktivitas dalam dunia pemberitaan melainkan agar pekerja pers dapat bekerja lebih tertib dan mampu memberikan informasi yang akurat dan benar kepada masyarakat.
Konsep dasar kerja pers yang pertama ialah mengklasifikasi sumber berita di mana ini adalah hal yang sangat utama karena menyangkut kebenaran informasi atau berita yang akan disampaikan kepada masyarakat. Dalam mengklasifikasikan sumber berita seorang pekerja pers membutuhkan saksi mata yang dapat dipercaya dan memenuhi syarat untuk berbicara (jika sumber adalah orang). Sumber berita tak hanya berupa orang, namun juga catatan, dokumentasi, referensi, buku, kliping dan sebagainya yang memberikan makna dan kedalaman suatu peristiwa.
Seorang pekerja pers juga tidak boleh terburu – buru dalam memberitakan suatu peristiwa sebelum ia melakukan klasifikasi dan cross check secara terus menerus hingga kevalidan berita ia terima dapat dipertanggungjawabkan, meskipun sedang dikejar deadline.
Kemudian yang kedua, membekali kerja dengan kejujuran sebagaimana disebutkan dalam butir pertama KEWI ( Kode Etik Wartawan Indonesia ), “ wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar “. Setelah mengklasifikasikan sumber berita, maka diperlukan kejujuran seorang pekerja ketika menuliskan berita tersebut dan menyebarkannya ke masyarakat. Dalam hal ini kejujuran yang dimaksud adalah kejujuran berita dan kejujuran hukum.
Kejujuran berita ialah berita tersebut ditulis dengan sebenar – benarnya dengan tidak memanipulasi data dan fakta yang ada di lapangan. Sedangkan kejujuran hukum berarti seorang pekerja pers tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan dalam menyikapi suatu berita, untuk diterima atau tidak. Pandangan pekerja pers hanya dapat dituliskan dalam berita tersebut dengan syarat pendapat merupakan penjelasan tafsir yang benar tentang suatu berita dan dampaknya, bukan pendapat pribadinya.
Konsep dasar kerja pers yang ketiga yaitu menyempurnakan kejujuran dengan akurasi. Artinya sebuah berita juga mesti dilengkapi dengan berita sekunder untuk menghindari kesalahpahaman pembaca akan berita tersebut. Sebelum berita disampaikan kepada masyarakat, kebenaran berita harus diperiksa dengan teliti dan meminta konfirmasi dari pihak yang bersangkutan, sehingga ketika berita diterbitkan, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan tersebut.
Seperti kasus memilukan yang terjadi dibalik peristiwa Bom Bali I, 12 Oktober 2002. Peristiwa ini terjadi akibat pemberitaan yang kurang akurat, asal memberitakan dan lebih mengutamakan keinginan pasar. Di mana diekspos di media massa bahwa Letnan Djaja Suparman saat peristiwa ledakan sedang berada di Bali. Ia merasakan pers tidak berupaya menghubungi untuk meminta konfirmasi atas isu tersebut. Dan tidak dengan memberikan bukti – bukti yang ada seperti tiket pesawat atau bill hotel untuk membuktikan kebaradaannya di Bali. Jadi tidak menelan mentah – mentah informasi dari sumber anonym yang mengatakan ‘ ada dua Jenderal yaitu jendral TNI Angkatan darat dan Jenderal Polisi ada di Bali dan dikaitkan mereka berada di belakang peritiwa Bom Bali ‘.
Hal ini tentu saja memojokkan Djaja Suparman dan harus menerima kenyataan mertuanya meninggal karena shock mendengar berita itu. Setelah 40 hari pemberitaan itu ayah kandungnya juga meninggal.
Keempat, objektif dalam menjelaskan kejadian, yang artinya seorang penulis berita harus mengemukakan pendapatnya berdasarkan fakta yang ada bukan kecondongan dan ambisi pribadinya. Berita yang ditulis haruslah mencakup jalannya suatu kejadian, kelanjutan dan dampak sebuah peristiwa, fakta dan data di lapangan kemudian catatan dan solusi yang konkrit lagi bermanfaat. Seorang pekerja pers tidak diperkenankan untuk memasukkan pendapat pribadi yang bertujuan untuk memenuhi ambisinya, apalagi yang jauh dari kebenaran. Tak hanya itu, berita juga ditulis dengan gaya bahasa yang tidak melecehkan maupun menjatuhkan martabat  pihak yang diberitakan.
Konsep kelima ialah mematuhi aturan dan etika umum ( kode etik ). Ketika menulis berita pekerja pers diikat oleh aturan – aturan  dan ketentuan – ketentuan yang berlaku di komunitasnya. Dengan adanya aturan dan ketentuan tersebut diharapkan akan tercipta kondisi yang dapat diterima masyarakat namun tidak merugikan pihak pers.
Di Indonesia ada banyak organisasi wartawan, namun yang paling besar adalah Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) dan Aliansi Jurnalis Independen ( AJI ). Organisasi – organisasi ini memiliki kode etik sendiri bagi para anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol cara pemberitaan sehingga tidak mengganggu pihak – pihak yang akan diberitakan.

Sunday, 19 September 2010

OIS FISIP UI 2007

Meskipun teman saya selalu mengatakan lebih baik saya menulis hal - hal yang lebih penting, daripada sekedar menulis pengalaman pribadi, hal itu tidak akan mematikan semangat saya dalam menulis apa - apa saja yang pernah saya lewati. Walaupun saya tahu bahwa pengalamannya lebih banyak dan lebih spektakuler dari saya, saya kekeuh untuk menulis apapun yang saya inginkan. Selagi jari jemari saya masih bisa menari di atas keyboard, saya akan terus menuliskan apapun yang saya sukai.



Olimpiade Ilmu Sosial FISIP UI
Jakarta, 12 - 16 Februari 2007

Mengikuti Olimpiade Ilmu Sosial Tingkat Nasional yang diadakan oleh FISIP UI tahun 2007 lalu merupakan sebuah pengalaman luar biasa dan tak akan mungkin terlupakan.  Entahlah, apakah hal itu merupakan suatu kebetulan atau memang dikarenakan oleh karya tulis yang kami buat ( lebih tepatnya teman – teman saya ) punya nilai lebih di mata panitia. Yang jelas dan hingga saat ini saya yakini bahwa tentunya hal ini sudah tertulis di catatan sang Pencipta sebagai salah satu scenario dalam hidup kami.

Saya sudah bertekad untuk menuliskannya dalam catatan harian saya begitu kami pulang dari Jakarta, namun entah kenapa hal itu tidak juga saya lakukan. Barulah hari ini ( setelah tiga tahun berlalu ) saya bisa menuliskannya agar kenangan itu tetap membekas dan memberikan dorongan semangat kepada saya, betapa masih banyak hal yang harus dipikirkan dan saya harus selalu produktif.

Berawal dari tawaran dua orang teman saya dari kelas berbeda ( kelas super, demikian saya menyebutnya ) untuk bergabung dengan mereka untuk mengikuti kegiatan ini. Kebingungan dan keheranan menerpa saya, mengapa saya yang dipilih. Padahal saat itu ada banyak teman – teman lain yang punya kompetensi lebih baik dari saya. Alasannya hanya satu, karena beberapa waktu lalu saya adalah salah satu peserta debat antar kelas ( di class meeting akhir semester ). Sebuah keberuntungan.

Mungkin menurut teman – teman penampilan saya cukup baik pada saat itu ( saya sangat menyukai debat itu sendiri ). Saya pun menyetujui untuk bergabung dan mulai bekerjasama untuk membuat karya tulis dengan tema Beyond Disaster. Kami sengaja mengambil contoh kasus Tsunami di Aceh tahun 2004 lalu. Mengupasnya semampu kami dan mencoba menawarkan solusi bagi pemerintah dalam menanggulangi keadaan di Aceh yang pada saat itu jauh dari kelayakan, di mana para korban yang masih hidup tinggal di tempat yang tidak layak.

Singkat cerita, karya tulis yang menurut saya sangat sederhana itu pun dikirim ke Jakarta. Ketika dikirim, saya cukup berharap kami masuk sebagai finalis dan berkesempatan mengikuti kegiatan selanjutnya di Jakarta. Harapan yang tipis itu segera saya tepis karena saya rasa itu adalah hal yang mustahil kami bisa lolos babak seleksi. Setelah itu saya tak lagi berharap dan juga tak berdoa akan kelulusan kami.

Beberapa waktu setelahnya, saya kurang ingat kapan pastinya, kami diberitahu bahwa karya tulis tentang Tsunami di Aceh itu lolos dan termasuk dalam 25 finalis dari seluruh Indonesia. Betapa senang dan bahagianya kami saat itu, khususnya saya. Bagaimana tidak, ini akan jadi perjalanan pertama saya keluar dari pulau Sumatera. Akan ada daerah baru lagi yang akan saya kunjungi, karena satu – satunya kota besar yang pernah saya tempati hanyalah Padang (  Sumatera Barat ) dan Pekanbaru ( Riau ). Selebihnya hanya kota atau pulau kecil. Saya begitu senang hingga terus memikirkan perjalanan itu.

Persiapan Keberangkatan

Begitu pengumuman diterima, dalam waktu cukup singkat orang tua kami dipanggil ke sekolah untuk membicarakan hal ini, yang saya ketahui akhirnya ialah masalah biaya keberangkatan kami. Sekolah ternyata tidak sanggup ( atau tidak mau ) membiayai, yang artinya kami berangkat dengan biaya kami sendiri. Hampir saya tidak percaya akan hal ini, pupus sudah harapan saya. Namun guru pembimbing kami menenangkan kami dan meyakinkan bahwa kami akan berangkat dengan cara apapun. Kami tidak perlu memikirkan biaya ataupun yang lainnya, hanya perlu focus pada persiapan untuk  ke sana.

Putus asa tentunya menyerang pribadi saya sehingga tidak banyak persiapan yang saya lakukan. Saya sudah tahu kami pasti tidak akan jadi berangkat untuk mengikuti kegiatan itu.

Takdir berbicara dan kami dikabari bahwa kami akan berangkat pada hari X ( saya lupa harinya ). Bukan main senangnya kami ketika itu, perjalanan impian akan segera dimulai. Kami pulang sekolah lebih awal untuk persiapan esok hari. Tak lupa kami berpamitan pada wali kelas masing – masing yang saat itu wali kelas saya tengah mengajar (malu sekali rasanya ketika saya harus masuk kelas yang sedang diajarnya itu ).

Keberangkatan

Hari bersejarah itu pun dimulai. Kami akan mengikui kegiatan nasional selama 5 hari di ibukota Negara. Begitu pamit dengan orang tua, kami melangkah untuk keberangkatan pertama menuju Batam. Sepertinya saat itu sudah lama sekali saya tidak naik kapal laut, alat transportasi favorit saya walaupun sebagian orang tidak suka karena terombang ambing di tengah laut.

Singkat cerita, kami tiba di bandara Hang Nadim, Batam ( saya menyukai bandara ini ), kemudian masuk ruang tunggu. Berdebar – debar hati saya ketika itu karena akan naik pesawat lagi, alat transportasi yang jarang sekali saya naiki.

Sayang di pesawat saya tidak mendapatkan kursi yang dekat dengan jendela, padahal saya sangat berharap sekali. Tidak apa lah, dalam hati saya berdoa agar pulang nanti saya bisa mendapatkannya. Setidaknya dengan duduk di bagian tepi saya bisa menyaksikan lagi pramugari ‘bisu’ tampil untuk memberikan keterangan pada penumpang tentang upaya penyelamatan seandainya terjadi sesuatu.

Sebelum pesawat take off saya memperhatikan orang – orang di sekeliling saya dan hanya bisa tersenyum geli saat melihat salah satu penumpang tidak tahu bagaimana cara memasang seat belt. Mungkin ini pengalaman pertamanya naik pesawat begitu batin saya. Namun saya berpendapat, setidaknya jika dia mendengar dan memperhatikan pramugari cantik itu dia akan tahu. Huft…. Saya tidak habis piker dengan orang – orang yang kadang tidak mau peduli.

Kemudian ketika saya melongok ke seberang belakang, tempat guru pembimbing kami duduk saya kembali menahan tawa. Seorang bapak yang duduk di sebelah beliau tak hentinya komat kamit  entah membaca apa. Masih terpatri di benak saya bahwa secara penampilan dia adalah orang yang punya ilmu agama yang tinggi. Saya tidak habis piker lagi, mengapa orang begitu takut akan sesuatu sebelum hal tersebut terjadi. Mengapa tidak berpikir positif saja dan meyerahkannya pada Allah. Yah, saya tahu dia hanya berdoa, tapi menurut saya berlebihan karena bibirnya tak berhenti untuk komat kamit.

Tibalah saarnya untuk take off dan saya tidak mau melewatkan momen ini karena saya suka dengan sensasi aneh yang timbul ketika pesawat take off. Tak lupa saya berdoa akan kelancaran perjalanan kam. Di detik itu pula kembali saya memperhatikan bapak yang duduk di sebelah guru pembimbing kami, dan semakin geli saya melihatnya. Bibirnya semakin bergerak cepat, dan saya idak pernah tahu apa yang dibacanya. Sementara itu salah satu penumpang  menunjukkan ketegangan luar biasa, pastilah ini pertama kalinya ia naik pesawat.

Alhamdulillah the trip is so nice. Bersyukur saya bisa menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta. Dan pikiran yang pertama kali muncul ialah saya membayangkan bahwa di sini lah lokasi syuing Eiffel I’m in Love. Huahahaha naïf sekali ketika itu saya berpikir demikian.

Secara umum saya lebih menyukai bandara Hang Nadim karena di sana lebih bersih daripada di Jakarta. Saya heran dan sekaligus malu, karena saya sempat melihat turis mancanegara dan takut sekali akan pendapat mereka akan bandara ini ( padahal kami sama sekali tidak berkomunikasi ). Dasar, saya terlalu berlebihan!!

Kami dijemput oleh dua orang panitia di bandara dan langsung diantar ke penginapan. Dalam perjalanann saya tidak mau melepaskan mata dari kondisi jalanan yang kami lewati. Ada rasa kagum yang muncul dengan kota ini karena banyaknya gedung – gedung tinggi di kiri kanan jalan, jalan raya yang besar dengan 4 jalur ( klo ga salah ingat ) dan lain sebagainya.

Di Penginapan

Sesampainya di penginapan, saya langsung shalat ashar. Namun karena di tempat baru, saya cukup takut dantidak khusyuk sama sekali. Saya shalat di atas tempat tidur dan membayangkan hal – hal yang menakutkan di penginapan tersebut.

Ternyata kami tidak berada dalam satu kamar yang sama. Panitia mengacak agar tidak ada peserta yang berasal dari satu daerah tidur di kamar yang sama. Saya berkesempatan sekamar dengan teman dari SMAN 1 Depok dan SMAN Frater Don Bosco ( Sulawesi ). Mereka adalah teman sekamar yang cukup menarik bagi saya. Salah satunya datang dengan cukup heboh dan memang merupakan peserta terheboh.

Peserta yang hadir hanya 69 orang dari 23 daerah. Dua daerah tidak dapat mengikuti kegiatan tersebut dan saya cukup kecewa dengan ketidakhadiran mereka. Meskipun begitu saya harus tetap semangat.

OIS 2007

Olimpiade Ilmu Sosial ini merupakan ajang kompetisi ilmu – ilmu sosial bagi siswa/I sekolah menengah atas atau sederajat yang telah diselenggarakan untuk kelima kalinya. Tahun 2007 ini OIS mengambil tema Beyond Disaster mengingat maraknya bencana alam yang terjadi di Indonesia pada waktu itu. Melalui acara ini diharapkan peserta OIS 2007 selain dapat menganalisis masalah juga mampu memberikan solusi dan kontribusi secara langsung terhadapa permasalahan tersebut.

Rangkaian acara Olimpiade Ilmu Sosial 2007 yang diselenggarakan oleh FISIP UI tersebut terdiri dari empat acara inti dan lima acara pendukung. Acara inti meliputi menulis review film dalam bahasa Inggris, analisis masalah, presentasi masalah dan circle of beat. Sementara itu acara pendukung terdiri dari training public speaking, kunjungan ke kantor DPR/MPR, FISIP open house, city tour dan diakhiri dengan malam keakraban.

( bersambung )

Surat Cinta yang Kucintai : Serpihan Hati Seorang Pejuang (Akhwat)

sungguh..

hati ini telah terpaut..
dalam rasa yang membuat diri ini enggan..
enggan untuk berpisah..
enggan untuk tak bersapa..
enggan untuk tak bersua..

cinta ini..
membuat diri ini begitu merasa spesial..


sungguh.
aku mencintaimu..

demi Allah..
aku mencintaimu karena cintanya engkau pada-Nya..

tapi,
maaf…
aku berkhianat padamu..
khianat..

karena aku mempunyai cinta-cinta yang lain..
dan, aku lebih mencintai lebih jauh..
lebih dalam..
pada cintaku yang lain itu..

aku lebih mencintai umat ini..

aku lebih mencintai jalan suci ini..

aku lebih mencintai Allah Sang Khalik…

sehingga.
aku enggan..
aku malu..
untuk membuat-Nya murka..

untuk membuat-Nya tidak lagi memberkahi jalan sulit yang saat ini sedang ku tempuh..

aku malu..
aku takut…

ketika kepahamanku dipertanggungjawabkan kelak..
sebagai seorang aktivis dakwah..
sebagai seorang dai..
sebagai seorang guru..
sebagai seorang teladan..

bagaimana bisa…
bagaimana bisa..

ada sebuah kontradiksi dalam aktivitas-aktivitas kita..
ya akhi..

bisa jadi karena maksiat-maksiat yang kita lakukan..
Allah menutup hati mereka,mereka yang belum terwarnai oleh Islam..
karena Allah begitu menjaga jalan dakwah ini..

karena Allah enggan ada orang-orang yang munafik berada di jalan ini..
sungguh,

demi Allah..
sebesar apapun cintaku padamu..
sebesar apapun cintamu padaku..
Allah tidak akan pernah ridho..
jika semua tidak dibalut dengan syariat..

ya akhi..
biarkan aku sendiri..
biarkan..

mungkin akan perih untuk kita berdua..
mungkin akan sakit untuk hati-hati yang telah diselimuti syaithan..

namun,
biarkan rasa sakit ini yang menjadi saksi..
bahwa kita adalah aktivis dakwah sejati..
sejati dengan kepahaman kita..
sejati dengan keilmuan kita..
sejati dengan jalan yang kita jalani..

tersenyumlah akhi..
sekalipun perih terasa menyayat..
karena senyum itu..
pertanda kau telah mampu..
mampu untuk melupakan cinta yang tidak halal ini..

dan sungguh,
karena mencintai adalah memiliki..
sehingga Sang Pemilik diri enggan,
enggan bila kita membagi cinta kita kepada yang lain..
terlebih cinta itu bukanlah vinta yang halal..
-untuk dia yang pernah tersakiti-

ikhwahfillah..
cinta merupakan suatu hal yang fitrah..
fitrah bagi kita seorang manusia..
sekalipun kita adalah aktivis dakwah..

namun,
cinta itu menjadi tidak fitrah..
manakala kita..
kita,yang terlibat dalam manuver-manuver dakwah..
ternyata menyimpan rasa-rasa yang bisa jadi itu bukanlah rasa yang Allah berikan..

Cinta..
ada untuk dinikmati..
dengan cara-Nya…
ikhwahfillah..
dalam suatu lingkaran pernah dikatakan,
bahwa cinta sebelum pernikahan adalah suatu yang haram..

lalu, bagaimana bisa aktivis dakwah yang notabenenya adalah seseorang yang telah ter-tarbiyah mengalami hal ini?

astagfirullah..
mari,
melihat diri-diri kita kembali..
bisa jadi sulitnya jalan dakwah yanng kita lalui..
adalah karena maksiat-maksiat di hati kita..
maksiat akibat rasa-rasa ‘nakal’ kita..

cintailah Allah..
maka Allah akan mencintaimu..

cintailah Allah..
maka Allah akan berada senantiasa di dekatmu..


-teruntuk yang spesial diri sendiri, dan semua aktivis dakwah di semua lembaga-
notes ini adalah ungkapan kebingungan atas semua yang terjadi..


copas from www.akarsejarah.wordpress.com

Friday, 10 September 2010

Obsesi Menjadi Dia

Oke lah kalo begitu. Aku tahu aku terobsesi. Atau lebih tepatnya terbayang-bayangi.

Seharusnya aq bebas berekspresi dengan gaya tulisanku sendiri. Hmm mungkin ini diakibat terlalu banyak ( oh ya! ) membaca tulisan orang lain.

Well, biar kuuraikan masalah ini.
Katanya, agar bisa menulis dengan baik, maka kau dianjurkan untuk lebih banyak membaca karya atau tulisan orang lain. Mengapa? Dari sini kau bisa belajar secara otodidak bagaimana menulis yang baik dan benar. Ya tergantung juga. Seperti mata pisau, jika kau menggunakan bagian yang tajam untuk memotong daging, pastilah pekerjaan potong memotong terlaksana dengan sukses. Sebaliknya ketika bagian yang tumpul digunakan, percayalah hanya kekesalan yang kau dapatkan karena daging tak kunjung terpotong sementara kau harus segera memasaknya ( hh resiko kalo yang nulis cewek, gak jauh dari masakan, padahal gak bisa masak ).

Demikian jugalah yang terjadi saat kau terlalu banyak membaca karya orang lain.

Oke kembali ke topik awal, kusadari bahwa kita sudah melenceng terlalu jauh.

Masalahku dengan tulisan ialah bahwa setiap kali akan menulis sesuatu, aku selalu dibayang-bayangi oleh seseorang yang merupakan guru pembimbingku dalam menulis. Ya, dia juga bukan segalanya, maksudku, tidak semua pelajaran menulisku kudapatkan darinya. Dia adalah seorang motivator jutek bagiku. No problem, selagi bisa membuatku mau menulis.

Aku terobsesi untuk bisa menulis seperti dia. Maksudku, tulisannya yang berkisar masalah politik kedaerahan bagiku cukup berat, namun aku tetap ingin mencoba. Setiap kali ingin menulis masalah kedaerahan kupaksakan seperti tulisannya. Hasilnya dapat kau bayangkan, benar-benar tidak memuaskan.

Aku tahu dan sangat sadar aku tidak boleh begitu. Setelah kupikir-pikir pemikiran dan gaya tulisan setiap orang tidak sama. Boleh saja kau memiliki ide yang sama, namun begitu tertuang dalam bentuk tulisan, hasilnya akan berbeda.

Seharusnya aku memang tidak boleh terlalu terobsesi dengan tulisan-tulisannya. Juga tidak berusaha untuk jadi seperti dia karena kami tidak sama ( ya iya laaah ).

Thursday, 9 September 2010

Hey!

Well, apa sih yang akan kau lakukan kalau kau terus menerus merasa didesak untuk melakukan ini itu sesuai keinginannya? Sementara di saat yang sama kau kebingungan dengan tugas-tugas yang menurutmu sangat banyak dan luar biasa.

Okey, mungkin aku terlalu banyak mengeluh. Hey, come on, salah ya kalau aku mengeluh? Yah aku tahu, ngeluh itu gak boleh, tapi di keadaan yang seperti ini?

Mari berpikir positif (sekalipun itu sulit). Bayangkan jika semua tugas yang dia berikan itu aku selesaikan dengan baik. Well, akan sangat bermanfaat untukku. Tidak semua orang kan yang punya kesempatan seperti ini??

So, apa mesti ngeluh lagi?
Huft, tapi kenapa sih kok kayaknya hanya aku yang digodok. Dilatih seperti ini memang menyenangkan. Tapi, hey, kau tidak ingin kan berlatih sendirian?

Oke, anggap saja angin lalu.

Thursday, 2 September 2010

Presiden Dinilai Tidak Tegas Menghadapi Malaysia

Kekecewaan jelas tergambar di wajah seluruh rakyat Indonesia yang menantikan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait masalah Indonesia – Malaysia. Pidato ini diawali oleh presiden dengan memaparkan kembali apa yang telah terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Ditangkapnya tiga orang petugas KKP oleh Malaysia akhir Juli lalu memanaskan kembali hubungan kedua Negara ini.

Meskipun ketiga petugas tersebut dibebaskan oleh pemerintah Malaysia dengan upaya dari pemerintah Indonesia juga tentunya, belakangan timbul pernyataan akan perlakuan tidak pantas yang telah diterima oleh tiga orang petugas KKP itu. Indonesia pun berusaha mengklarifikasi kebenaran hal tersebut.

Sementara itu, rakyat Indonesia mulai menunjukkan kemarahannya atas sikap angkuh Malaysia yang dinilai banyak pihak amat menghina dan merendahkan martabat bangsa Indonesia. Kedaulatan Negara pun dipertanyakan oleh rakyat? Hanya langkah diplomasikah yang dapat diambil oleh Indonesia setelah diperlakukan demikian? Seberapa tegas pemerintah menyikapi hal ini?

Di dalam pidatonya, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, menjelaskan kepada rakyat Indonesia demi kepentingan nasional, jalan perang bukanlah langkah yang patut diambil. Ada 2 juta warga Negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di Malaysia. Tak dapat dipungkiri mereka punya andil besar dalam menambah devisa Negara. Bagi Malaysia sendiri, keberadaan pekerja Indonesia di negaranya juga tidak kalah penting dalam hal pembangunan di sana. Selain itu, banyak juga mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu dan mengadakan penelitian di Malaysia, dan mereka merupakan aset Negara yang ternilai harganya.

Presiden menyadari, semakin dekat hubungan dua Negara maka akan semakin besar pula masalah yang akan timbul di antara keduanya. Oleh karena itu, Indonesia berupaya untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagai contoh, upaya pemerintah Indonesia memperjuangkan hak – hak pekerja Indonesia di negeri Jiran tersebut, seperti masalah gaji dan hari libur mereka.

Di sisi lain, kedaulatan Negara juga tidak dapat dimain – mainkan oleh Negara lain. Pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin melalui jalan diplomasi yang telah dilakukan dari awal. Pengiriman surat ke Malaysia pun telah dilaksanakan. Semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah telah sesuai dengan system yang berlaku.

Sekali lagi Indonesia menunjukkan kelembutannya dalam menghadapi konflik dengan Malaysia yang sudah terjadi untuk ke sekian kalinya. Tidak ada instruksi militer dalam pidato tersebut yang mengindikasikan peperangan seperti yang dikehendaki sebagian rakyat Indonesia melalui aksi – aksi demonstrasi belakangan ini. Tak hanya itu, sikap tegas yang diharapkan pun tidak muncul. Presiden hanya menginstruksikan agar perundingan perbatasan wilayah lebih dipercepat.

Bagaimana pun juga, hubungan baik kedua negara harus negara harus tetap dipertahankan demi kepentingan nasional juga ASEAN secara keseluruhan. Hal ini disebabkan Indonesia dan Malaysia merupakan pondasi dari negara – negara yang berada di kawasan Asia Tenggara.


KAMMI Daerah Kepulauan Riau Sepakat dengan Sikap yang Diambil Presiden RI


Ketua Departemen Kajian Strategis dan Humas KAMMI Daerah Kepulauan Riau, Jamhur Ar Rahman, ketika dikonfirmasi mengenai hal ini menyatakan kesepakatannya terhadap langkah – langkah serta sikap yang telah diambil oleh Presiden SBY terkait konflik dua negara tetangga ini.

“ Sikap yang diambil oleh Presiden sudah cukup tepat, karena adanya kekhawatiran dua negara ini tengah diprovokasi oleh antek – antek Yahudi, mengingat Indonesia dan Malaysia merupakan basis Islam terbesar di kawasan Asia Tenggara, “ ungkap Jamhur Ar Rahman.

Jika permasalahan kedua negara ini masih bisa diselesaikan melalui jalan diplomasi, perang bukanlah langkah yang patut diambil karena akan menimbulkan kerugian yang sangat besar di kedua belah pihak. Lagipula, rakyat Indonesia yang berdomisili di daerah perbatasan seperti Kalimantan dan Kepulauan Riau pastinya akan merasakan penderitaan sebagai korban perang.

Selain itu, kesiapan Indonesia untuk berperang dengan Malaysia juga masih dipertanyakan. Kendati memiliki kuantitas tentara lebih banyak dibandingkan Malaysia, kualitas peralatan dan fasilitas perang Indonesia tidak dapat dipastikan. Di samping itu, jika pilihan perang yang diambil pemerintah, maka setiap bulannya pemerintah harus menyediakan dana perang sekitar 6 triliun rupiah. Pertanyaannya, sanggupkah Indonesia?

Sementara itu, Muhammad Sani selaku Gubernur Provinsi Kepualauan Riau pun menyatakan ketidaksetujuannya akan jalan perang. Menurutnya, masalah antara negara Republik Indonesia dan Malaysia tidak mesti diselesaikan dengan perang. Sebaiknya hal ini sudah sepantasnya dibicarakan dalam suasana damai.
Tambahnya lagi pemerintah Provinsi Kepri, sebagai daerah yang berhadapan langsung dengan negara asing, akan memberikan masukan jika diminta oleh pemerintah pusat  dalam hal perundingan perbatasan wilayah maritim.

Gubernur juga mencanangkan untuk membentuk tim terpadu pengawasan daerah perbatasan tersebut yang akan melibatkan semua instansi yang terkait terkait. Namun sebelumnya penjelasan mengenai batas wilayah dari pemerintah pusat sangat diharapkan.

Wednesday, 1 September 2010

Lelucon Tanpa Batas


Di tahun 2010, saya adalah seorang mahasiswa  semester 5 jurusan pendidikan Bahasa Inggris dan saya masih berumur 20 tahun, cukup muda. Hari ini saya ingin memposisikan diri dan berpura – pura menjadi anggota dewan yang terhormat. Baiklah, let’s follow my ridiculous mind.

Sebagai anggota dewan, saya merasa risih dengan pemberitaan –pemberitaan yang ada di media tentang kinerja kami dalam mengurus rakyat Indonesia yang sangat banyak ini.
Di televisi banyak beredar gambar yang menyorot beberapa teman saya yang ngantuk dan bahkan ada yang tidur ketika rapat ataupun sidang sedang berlangsung. Akibatnya, banyak pihak yang mencemooh kami dan menilai kinerja kami sangat buruk. Rakyat bilang kami hanya makan gaji buta tanpa melakukan apa – apa untuk mereka. Hhh… seandainya saja mereka tahu apa yang kami bicarakan di dalam sini.
Ou, baiklah tentu saja mereka tidak tahu apa – apa saja yang kami bicarakan. Tidak ada siaran televisi yang khusus menyiarkan kegiatan – kegiatan yang ada di gedung MPR / DPR. Apa yang kami bahas di ruang rapat hanya disaksikan sebagian rakyat Indonesia. Dan tentu saja oleh mereka yang punya akses untuk masuk ruangan. Merekalah yang menyaksikan seperti apa kami di ruangan.
Kunjungan – kunjungan kerja kami juga sepertinya jarang jadi pemberitaan di media massa. Hahahha sebagai anggota dewan bukannya saya mau diikuti terus menerus oleh wartawan atau dikejar – kejar seperti Britney Spears dan artis Hollywood lainya. Kalau dipikir – pikir pamor kami sebagai anggota dewan kalah saing dengan artis ( ya kecuali artis yang jadi anggota dewan ). Gak ada tuh paparazzi yang ngejar saya dan teman- teman ketika melakukan kunjungan, sekedar mendapatkan foto kami. Kalo pun ada, hanya segelintir, itupun entah diterbitkan atau tidak.
Selama ini yang mengawasi kami sepertinya hanya segelintir orang. Mahasiswa yang paling kami takutkan. Tapi itu sih dulu, sekarang kayaknya gak lagi. Mahasiswa sekarang sudah banyak yang tidak bergerak, kalaupun ada jumlahnya sedikit sekali. Sebagian besar tidak peduli pada apa yang kami lakukan, tapi kalo sudah dengar berita kecil tentang kinerja kami ( yang sebenarnya gak penting untuk dibesar – besarkan ) hebohnya minta ampun. Demo sana sini, ngerusak pagar dan fasilitas lainnya. Haduh apa sih yang mereka pikirkan ketika berdemonstrasi?
Ya sudahlah, itu kata Bondan Prakoso. Sekarang saya mau membuat pembelaan sedikit nih masalah anggota dewan yang suka ngantuk dan tidur ketika rapat. Pernahkan lihat gambarnya di tivi? Terus terang saya malu juga dengan sorotan media seperti itu. Tahukah anda mengapa kami sering ngantuk?
Ruangan. Salah satu alasannya adalah ini. Kami selalu membicarakan permasalahan undang – undang di ruangan yang sangat nyaman. Ruangan yang besar dengan langit – langit yang tinggi dengan AC setiap saat. Benar – benar membuat kami kadang terlena. Lantainya tertutup oleh karpet tebal, dan ketika anda berjalan di atasnya, suara langkah kaki anda tidak akan terdengar. Sunyi ( kecuali ketika ada yang berbicara ). Lalu kami pun disediakan kursi yang sangat empuk. Enak sekali ketika duduk di kursi ini, saya pernah ingin membawanya pulang. Tapi tentu saja tidak boleh, ini kan punya rakyat (lho, saya rakyat juga kan?). Jadi bayangkanlah ruangan ini, nyaman sekali berada di dalamnya. Seharusnya anda juga ada di sana dan merasakan hal yang sama seperti saya.
Pernah saya berpikir, mungkin para mahasiswa di luar sana yang sering menyuarakan aspirasinya dari luar pagar harusnya merasakan kenyamanan yang kami rasakan. Mereka, mahasiswa itu selalu saja merasa tidak puas dengan apa yang kami kerjakan. Anggota dewan suka tidurlah, suka ngobrol lah, suka on line lah, suka smsan lah klo lagi rapat, suka bertinjulah dan suka suka suka lainnya. Pusing juga dengarnya. Padahal, coba saja mereka ada di ruangan ini.
Aha!!
Saya punya usulan. Bukankah di gedung ini ruang rapat banyak sekali? Bagaimana jika saya mengusulkan pada ketua untuk meminjamkan salah satunya pada mahasiswa dan pelajar untuk dijadikan sebagai tempat mereka kuliah umum? Dengan demikian, mereka juga akan merasakan fasilitas di gedung ini. Bukankah mereka juga berhak? Saya ingin melihat reaksi mereka akan kenyamanan ruangan ini. Lagipula saya ingin agar mereka tak lagi mencaci kami, akan kami yang suka ngantuk dan bahkan tidur, tidak datang rapat dan sebagainya.
Masalah di atas benar – benar tidak penting untuk dibahas, bahkan dijadikan berita utama. Caci dan makilah saya beserta teman- teman anggota dewan lain ketika kami tidak berhasil mencapai target kerja, atau ketika kami melakukan tindakan asusila, korupsi dan hal lainnya yang melanggar undang – undang.

Nah, sekarang saya sudah kembali menjadi mahasiswa muda berusia 20 tahun di 2010. Terima kasih sudah melakukan perjalanan penuh lelucon sebagai anggota dewan yang terhormat. Pikiran ini terbentuk berdasarkan ingatan dan pengalaman ketika berada di ruangan Nusantara ( entah nomor berapa, agak lupa )  MPR/DPR yang benar – benar nyaman.
1 September 2010
Ketika berpura – pura menjadi anggota dewan

An Embarassing Presentation

This  is a picture in Syntax class a few times ago. It was an embarrassing presentation all my life (certainly I had one, when I had to talk in front of the great committee in a social competition a few years ago ).

Let me introducethe member of the group. The girl used white scarf was Asnani and the brown one was Juminisari. Certainly, I was the girl in the middle. They were good partners for me, helping each other.

Well, that day, our group had to explain to the class what was syntax and the system on that subject.

I recognized that I didn’t do my best in finishing the paper, whereas we had no more preparation fot it. I tried to find the articles on internet, read it and I found that it was too difficult to understand.

I knew I was wrong for not asking the lecturer about it, then it was a very big mistake in my academic life. A day before presentation, I was not too serious on the subject and not reading it carefully. Actually, I had difficulty in understanding the words.

And it’s time to sit in front of the class. I was not too nervous to speak, but on what I had to talk about. No idea at all. So I explained something that I, myself, understand nothing of it. I talked nonsense. What a bad performance!

When my classmates gave us some questions, I and the other two said nothing. Finally, I asked the lecturer to explain it again and we apologized for the bad performance.

Now, I can imagine the result of my syntax subject. I will not get A….!!

Ou em jiii, it’s digusting! I’m angry to my self.