Orang-orang selalu menilai seseorang dari penampilan luar. Melihat seseorang suka pergi ke surau untuk melaksanakan sholat maka ketika itu ia disebut orang alim. Orang yang suka duduk-duduk di kedai kopi sambil bergosip disebut tukang gosip. Setiap hari pergi mengajar maka orang menyebutnya guru.
Memang pencitraan dapat terbentuk sendiri melalui kebiasaan sehari-hari. Ada yang berkata bahwa ketika sesuatu dilakukan sering maka ia jadi kebiasaan. Setelah kebiasaan itu melekat di dalam diri maka ia akan menjadi akhlak seseorang.
Tapi benarkah apa yang kita lihat hari ini adalah yang sebenarnya? Ah, we never know what kind of person we are. Orang memang selalu menilai dari luar. Mereka tidak salah karena itulah yang kita tampakkan. Cukup mustahil menilai sesuatu yang tak nampak jelas di depan mata. Kita bukan makhluk gaib, kita nyata, kita ada dan kita bergerak ke sana kemari.
Lalu, siapakah kita sebenarnya? Seseorang yang orang nilai atau seseorang yang sebenarnya sangat berbeda dari penilaian orang lain? Lalu mengapa kita mengerjakan sesuatu yang ternyata bukan kita? Seorang pencitra palsu kah? Belum tentu.
Kita hadir dan melakukan segala hal karena kebutuhan. Bukan kita tapi kebutuhan masyarakat. Banyak di antara kita yang bergerak atas permintaan masyarakat. Bergerak karena penilaian masyarakat. Takut melakukan sesuatu yang ditolak masyarakat.
Dua sisi yang berbeda.
Banyak yang bilang, jadilah diri sendiri. Ya, tawaran yang menarik. Namun, bagaimana ketika diri sendiri itu adalah diri yang tak mendapat tempat di masyarakat? Diri yang bagi orang lain bahkan tak pantas untuk mengangkat kepala. Lalu, apakah mereka pantas?
Tak ada yang boleh menilai atau menghakimi orang lain. Lalu siapa yang harus melakukannya? Egoisme kita mendorong diri untuk memprioritaskan ketertuduhan terhadapa orang lain ketimbang menunjuk diri. Satu telunjuk rupanya lebih besar dari sisa empat jari lainnya yang mengarah pada diri.
Lalu kita siapa?