Monday, 2 November 2009

In Memoriam of Bu Asiah

Sabtu, 17 Oktober 2009 pukul 15.30 Kampus STAI

Ruang 1 begitu riuh. Rapat HMJ PBI sedang berlangsung. Perbedaan pendapat membuat peserta rapat yang lain kebingungan. Padahal hal yang dibahas sangat sepele.

Dalam keriuhan itu Widya yang duduk cukup jauh dariku berusaha menyampaikan pesan padaku tanpa suara. Aku berusaha membaca gerak bibirnya. Keningku berkernyit. Tak dapat menangkap pesan yang ia sampaikan.

Bu Asrah meninggal dunia. Akhirnya itu yang dapt kusimpulkan dari gerak bibirnya. Bu Asrah??? Ah enggaklah, begitu kataku padanya. Aku ingat guru Fisika SMA yang terkenal dengan kedisiplinannya. Reaksiku yang tidak percaya cukup membuat Widya tidak puas. Ia serahkan handphonenya agar aku bisa membaca pesan singkat yang baru saja ia terima. Katanya dari Kak Desi. Hah?? Aku mulai heran. Apa hubungannya Kak Desi dengan Bu Asrah?? Aku tidak habis pikir hingga aku membaca SMS itu.

Bu Asiah meninggal dunia

Singkat, jelas, tepat, dan padat. Kalimat itu menggambarkan seluruhnya. Oooo jadi Bu Asiah, bukan Bu Asrah. Keningku kembali berkerut. Tidak percaya. Tidak ada perasaan apa-apa. Tapi sms ini dari Kak Desi. Ia jarang sekali bercanda. Ah, tapi aku tidak peduli. Konsentrasiku kembali pada rapat yang semakin tidak jelas.

Tak lama kemudian, giliran HPku yang bergetar. Ayah. Huff…. Pasti menanyakan posisiku lagi. Begitu kuangkat ayah langsung berkata, “ Za, Bu Asiah maningga. Capek pulang. Ayah sedang managak an tenda

Deg.

Jadi benar. Ah, aku masih tidak merasakan apa-apa. Sampai HPku bergetar lagi untuk yang kedua kalinya. Ibu. Apakah memberikan kabar yang sama??

“ Za, Bu Asiah maningga. Capek pulang. Ko ibu sedang manolong urang maurus jenazahnyo. ”

Aku hanya bisa berkata iya dan menambahkan bahwa aku akan ke sana setelah Maghrib. Tidak mungkin aku pulang sekarang. Masih ada agenda yang tidak mungkin ditinggalkan.

Tanpa merasa sedih ataupun khawatir aku kembali masuk ke ruangan. Tapi kali ini konsentrasiku sudah pecah. Benar-benar pecah. Aku mulai mempercayai kebeneran pesan singkat dari Kak Desi beberapa saat tadi. Aku menjeling pada Widya. Tapi tak kudapati ia melakukan hal yang sama padaku. Rapat terus saja berlanjut.

Diam-diam aku mulai kesal dengan rapat ini. Kenapa dari tadi hal yang dibahas itu-itu saja. Tidakkah ada agenda lain selain membahas penanggung jawab masing-masing penampilan??

Perlahan aku pindah ke tempat Widya. Sepertinya tidak ada yang sadar dengan pergerakanku. “ Wid, betul Bu Asiah meninggal. “

“ Innalillahi wa inna ilaihirojiuun………” hanya itu yang keluar dari bibirnya. Aku tersentak. Aku baru saja menyadari bahwa tak sedikitpun aku mangeluarkan kata-kata itu dari tadi. Lantaran aku tidak percaya barangkali. Ah entahlah, kenapa aku tidak sedih atau mengeluarkan air mata?? Begitu keraskah hatiku?? Bukankah selama ini ia orang yang memiliki tempat di hatiku?? Aku tak lagi berkonsentrasi dengan rapat. Hatiku berkecamuk. Menimbang-nimbang, haruskah aku sedih dan menangis. Ataukah berusaha tetap tegar seperti yang aku rencanakan selama ini jika suatu saat orang terdekatku meninggal???

Sabtu, 17 Oktober 2009 18.30 dalam perjalanan menuju rumah duka

Astaghfirullah……

Hampir saja motor yang kukendarai masuk lubang. Pikiranku ntah ke mana-mana. Sudah tak karuan. Lubang itu tak lagi kusadari. Syukur masih dapat kuhindari.

Aku masih bertanya-tanya benarkah Bu Asiah meninggal? Baru semalam dia ke rumah untuk bertanya mengenai surat pengalaman kerjanya yang belum sempat aku siapkan. Seminggu terakhir ini kami kembali berkomunikasi seperti biasa setelah sekian lama sejak ia berhenti dari sekolah. Memang silaturahmi kami tidak terputus total hanya saja, setelah kami tidak lagi berada dalam satu lembaga, kami jadi jarang bertemu. Apalagi ngobrol.

Minggu lalu ia ke rumah meminta aku untuk membuatkannya surat pengalaman kerja. Karena kepala sekolah sedang tidak di tempat, maka dengankulah ia berurusan. Katanya, tempat ia bekerja sekarang memerlukan surat tersebut sebagai arsip dan untuk memudahkannya mendapatkan insentif guru. Aku berjanji padanya lusa kuselesaikan.

Tapi karena terlalu disibukkan dengan urusan lain hingga hari ini pun surat itu belum juga kuselesaikan.

Sepanjang jalan hal itu yang terus menghantui pikiranku. Ada rasa penyesalan dalam hatiku. Ya Allah, benarkah Bu Asiah meninggal?? Kutambah kecepatan agar cepat sampai. Bisa kurasakan mataku mulai panas. Bayanganku bersamanya berputar di mataku. Flashback.

Kenangan di sekolah, pesan-pesannya padaku, gurauannya di hari-hari kami mengelola kelas bersama berkelebat sepanjang jalan.

Teringat aku pada dadanya yang sesak akan urusan-urusan di sekolah, masalah anak-anaknya dan kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Sejak berhenti mengajar di sekolah yang sama denganku, ia harus pontang panting mencari pekerjaan baru. Bersyukur dalam waktu singkat ia kembali mengajar di sebuah Kelompok Bermain. Agak jauh memang, tapi ia mengaku senang di sana.

Ilmunya kembali bermanfaat saat banyak tetangga mempercayakan anaknya pada beliau untuk dibimbing dalam pelajaran sekolah. Beberapa di antaranya minta diajarkan mengaji. Saat ia bercerita aku bisa melihat binar di matanya. Aku yakin ia tak lagi berada dalam himpitan ekonomi. Atau setidaknya ia tak perlu lagi cemas walau gaji suaminya kadang tidak mencukupi untuk kehidupan mereka.

Betapa senangnya ia saat memberitahuku bahwa ia diberi uang sejumlah lima ratus ribu rupiah oleh seorang wali muridnya. Pada awalnya ia tolak karena merasa tidak pantas menerimanya. Tapi orang tua tersebut memaksa Bu Asiah untuk menggunakan uang tersebut sebaik mungkin.

Ah, Bu Asiah. Masih tergambar jelas di pelupuk mataku rasa terima kasih yang disampaikan oleh Mama Darma, salah satu wali murid kami. Anaknya yang pada saat itu berada dalam bimbingan Bu Asiah menunjukkan perkembangan yang sangat memuaskannya. Di sekolah dialah satu-satunya guru yang mampu menenangkan anak, sesuatu yang jarang sekali berhasil dilakukan oleh guru-guru lain. Karena itu, tak jarang ia mendapat hadiah dari wali murid.

Jantungku berdetak tak karuan saat berbelok ke gerbang perumahan Bu Asiah.

Begitu tiba di tempat tujuan, aku melihat ada tenda berdiri. Bukan untuk pesta pernikahan. Tapi tenda dari Babul Khairat yang biasa digunakan oleh pengurus mesjid saat ada warga yang meninggal dunia.

Kakiku bergetar begitu aku turun dari sepeda motor. Pandangan ketakutan dan tak percaya tergambar di wajahku. Aku cemas. Mengurungkan niat pergi ke rumah duka, aku berbelok ke rumah Bu Ita.

“ Assalamu’alaikum……”

Aku masuk begitu saja dan berhenti di ruang tengah. Mendapati Bu Ita berdiri menatapku.

“ Buk, betul ya???? “ seketika itu juga tangisku meledak. Ketidak percayaan akan berita duka yang dari tadi kupertahankan runtuh sudah. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jelas sudah bahwa hal itu benar. aku terus terisak sambil berkata “ Buk, betul ya??? “ Sejujurnya aku masih tidak percaya akan kenyataan bahwa Bu Asiah sudah meninggal. Buk Ita hanya bisa mengangguk.

Air mataku semakin deras, dadaku naik turun, suaraku parau. Suatu hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya terjadi hari ini. Penyesalan semakin menyelimutiku.

“ Buk, iza…… ga sempat….bikinin…..surat…buat Buk Asiah…..” ucapku terbata-bata. Aku benar-benar seperti anak kecil yang ditinggal orang tua. Isakku makin kuat dan tak bisa kutahan. Kupeluk Buk Ita.

“ Buk, iza…mau …ke sana. Ibuk temanin ya….” Kupujuk Buk Ita untuk menemaniku.

Setelah memasang jilbabnya, kami pergi ke rumah duka. Jarak rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Bu Ita. Begitu sampai di depan pintu, aku bisa melihat jenazah Buk Asiah yang terbaring dikelilingi oleh kerabat dan tetangganya.

Aku masih terus terisak saat masuk. Dan tangisku meledak lagi ketika kain penutup wajahnya dibuka. Wajah Bu Asiah. Pucat. Tak lagi berdarah. Bibirnya tidak merah. Matanya tertutup. Dan sekujur tubuhnya diselimuti oleh kain panjang.

Aku percaya. Aku percaya. Aku percaya. Innalillahi wa inna ilaihirojiuuun………

Ya Allah, benar Kau telah memanggilnya. Di umurnya yang masih sangat muda. Dia hanya Kau beri kesempatan 37 tahun untuk hidup di dunia ini. Terima ia di sisiMu Ya Rabb. Ampuni dosa-dosanya. Jauhkan ia dari siksa kuburmu dan bangkitkan ia bersama orang-orang yang beriman.

Keterangan :

Capek = cepat

Maningga = meninggal

Managak an tenda = mendirikan tenda

Manolong urang maurus jenazahnyo = menolong orang mengurus jenazahnya