Ambruk hati melihat tatapan nanar seorang pedagang mainan di lokasi STQ tadi malam. Menggelar lapak di sudut lokasi yang disediakan panitia dengan barang dagangan berupa peci dan mainan anak - anak. Matanya menerawang entah sedang memikirkan apa.
Sementara di lokasi lainnya para pejabat dan masyarakat Kota Tanjungpinang dengan gegap gempita dalam acara pembukaan STQ duduk manis di balkon yang telah disediakan. Mengenakan baju kurung Melayu dengan kain songket mengkilat yang melilit di pinggang. Sesekali berpindah ke panggung untuk memberikan kata sambutan dengan mobil jemputan yang mirip dengan kendaraan di lapangan golf.
Sungguh pemandangan yang kontras bagi. Apalagi saat para penari memasuki lapangan untuk mempersembahkan hasil latihan mereka selama berminggu - minggu dengan mengerahkan tenaga dan waktu. Mereka para penari yang berasal dari siswa siswa di sekolah menengah Kota Tanjungpinang mungkin telah berusaha semaksimal mungkin untuk mensukseskan acara. Bahkan bisa jadi di antaranya mengorbankan jadwal les untuk ikut latihan.
Mereka berlarian di tengah lapangan STQ tersebut dengan membawa bendera diiringi dengan musik yang menambah keheroikan aksinya.
Saya tak melihat indahnya para penari. Terbersit dalam pikiran ini tentang orang - orang yang kurang beruntung dibalik megahnya pembukaan STQ. Mereka para tukang yang telah bekerja keras di bawah terik matahari. Mereka para pedagang yang bersyukur karena diberi kesempatan untuk berjualan di sana.
Lalu apa?
Wajah bapak pedagang itu menghancurkan hati saya. Walau saya hanya menebak apa yang sedang dipikirkannya, namun kesedihan dan lelahnya hidup tergurat di wajah tuanya.
Kini harga bahan bakar minyak resmi naik di bulan Juni 2013 oleh pemerintah. Kebijakan semena - mena ini tentu membawa dampak yang besar bagi masyarakat menengah ke bawah. Beberapa argumentasi dari para ahli tentang pentingnya menaikkan harga bahan bakar minyak bagi saya tak masuk akal. Ditambah lagi dengan kebijakan BLSM.
Membayangkan masyarakat mengantri demi 150,000 membuat saya ingin muntah. Mungkin kita tidak sedang dalam posisi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Yang untuk membeli beras pun mereka harus berhitung - hitung agar kebutuhan lainnya tak terganggu.
Apa yang sedang dipikirkan oleh pemerintah dengan memberikan 150,000 kepada mereka? Jika ini adalah biaya kompensasi, saya pikir percuma pemerintah mengeluarkan peraturan tentang tak dibenarkannya masyarakat memberi uang kepada pengemis. BLSM telah menjadikan masyarakat layaknya pengemis dan pemerintah adalah seorang 'dermawan' yang lalu lalang di pasar kemudian memberikan seribu rupiah sisa belanja kepada pengemis di sudut pasar.
Tulisan ini mungkin tak akan berguna lagi karena toh harga BBM sudah naik. Kami harus membeli bensin 6500/liter yang tentu menaikkan pengeluaran.
BLSM yang sudah mulai digulirkan itu membuat miris. Saya tak sedang berbicara tentang perasaan. Apalah arti seratus lima puluh ribu itu bagi masyarakat. Bukan saya sedang mengajarkan tentang kufur nikmat atau tak bersyukur sama sekali dengan apa yang diberikan. Tapi ini adalah pembodohan dan pemiskinan!
Kini masyarakat harus memaksakan diri untuk berdiri di kaki sendiri. Seperti para nelayan yang kerja sampingan dengan mencari kaleng dan barang - barang bekas. Seperti guru yang mungkin kembali mengojek. Seperti karyawan swasta yang harus mencari kerja paruh waktu di malam hari. Seperti ibu rumah tangga yang harus memutar otak untuk mencari uang tambahan dengan berjualan kue. Seperti pengamen yang harus bekerja lebih keras. Atau seperti pencopet yang harus menaikkan setorannya dengan mengambil lebih banyak dompet. Seperti mahasiswa yang harus tunggang langgang menjadi guru privat ke sana ke mari.
Maka saksikanlah Indonesia
No comments:
Post a Comment