Thursday 22 October 2015

Lapang Dada

Mungkin orang lain sudah melakukannya. Iya, sore ini perasaan saya ga enak. Membuncah dan ingin memuntahkannya. Khawatir melukai orang lain, saya memilih untuk keluar rumah. Ibu sempat bertanya mau ke mana. Entahlah, ke mana saja asal tak diam.
Lalu saya mulai melakukan perjalanan tanpa tujuan. Ga tau harus ke mana. Sepanjang perjalanan ingin menangis tapi malu dan tak siap jika harus mengalami kecelakaan karena kurangnya konsentrasi dalam berkendara.
Sesegera mungkin saya memperlambat laju kendaraan dan mulai melihat apa pun yang bisa saya lihat.
Oh ya, mungkin dengan melihat orang lain perasaan yang menyesakkan itu bisa berdamai dan membuat saya lebih lapang dada.
Tentu saja. Di turunan batu sembilan sebelum cafe jeboonk saya melihat tiga lelaki usia 40an berjalan di tepi jalan raya. Pakaian mereka lusuh dan tampak lelah. Sepertinya mereka tukang yang bekerja di ruko seberang yang sedang dalam masa pembangunan.
Tiba tiba pikiran itu masuk. Wow tentu beban hidup mereka lebih berat daripada saya. Masalah mereka pasti lebih besar. Lihat saja wajah lelah itu, tak bersinar. Saya masih lebih baik, lucu sekali jika mengeluh lagi.
Di belokan batu delapan saya terkejut melihat seorang wanita hamil muda berjalan kaki. Yang menarik perhatian saya adalah penampilan. Tak terawat sama sekali. Perutnya jelas terlihat dengan pakaian minim yang ia kenakan. Entah apa namanya, terusan mini yang hanya sebatas paha tanpa lengan. Wajahnya legam tertutup debu jalanan seperti tak mandi berhari hari. Ia membawa tas dan berjalan cepat.
Ke mana perempuan hamil ini? Dengan usia kehamilan kira kira enam bulan apa yang ia lakukan? Kenapa harus jalan kaki? Tak bisakah suaminya menjemput? Atau suaminya yang sudah tak ada?
Saya merasa bersyukur. Entahlah apa yang saya syukuri
Pemandangan lainnya yang lebih miris bergantian saya lihat selama perjalanan tanpa arah itu. Menambah rasa syukur karena Sang Khalik menempatkan saya di sini.
Setiap kita pasti punya masalah sendiri yang membuat dada sesak dan tangis tak lagi bisa terbendung. Kadang bila diikutkan kata hati ingin sekali mengucapkan sumpah serapah untuk mengurangi rasa.
Tapi apa yang kita dapat? Tangisan putus asa mungkin bisa memperlambat rasa syukur. Lalu, apa tak boleh menangis? Ya silahkan saja
Hanya saja sore ini saya mendapatkan lagi satu cara untuk meredam emosi.

5 comments:

  1. Mungkin sejenis ikhlas gtu ya, melapangkan Dada selebar-lebarnya^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa, ngelapangin dada emang susah yaaaaa

      Delete
  2. "Tangisan putus asa mungkin bisa memperlambat rasa syukur. Lalu, apa tak boleh menangis?"

    Ni kalimat kayaknya ngena banget deh....

    ReplyDelete