Suatu hari saya menuliskan satu kalimat di salah satu jejaring sosial, dakwah, the awareness and obligation of every muslim.
Awalnya saya pikir ini adalah pemahaman yang benar, namun ternyata ada yang salah dengan pemahaman saya.
Suatu  ketika beberapa pertanyaan muncul tentang dakwah. Apa itu dakwah.  Seperti apakah bentuk dakwah. Apa guna dakwah. Mengapa harus berdakwah.  Bagaimana cara berdakwah? Siapa saja yang patut didakwahi? Semua orang  atau ada kalangan tertentu sesuai prioritas dan kebutuhan? Lalu apakah  dakwah adalah tugas atau hanya kesadaran?
Dalam acara bedah buku Salim A. Fillah, Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim,  beliau menjelaskan bahwa ada empat kesadaran yang harus dimiliki oleh  seorang manusia yang beruntung menjadi seorang muslim. Pertama,  kesadaran identitas. Kedua, kesadaran untuk berkompetisi dengan muslim  yang lain dalam hal berbuat kebaikan, juga untuk jadi yang terbaik di  mata Rabb. Ketiga, kesadaran untuk bersinergi dengan muslim yang lain.  Dan yang terakhir adalah kesadaran untuk menjalankan misi dakwah.
Hal  pertama hingga ketiga semestinya menjadi perhatian yang lebih bagi kita  di mana hari ini banyak muslim yang tidak bangga dengan identitasnya  sebagai seorang muslim. Banyak yang hari ini muslim yang tidak menyadari  bahwa dia sedang berada dalam kompetisi kebaikan untuk memenangkan  ‘perhatian’ Allah padanya. Lebih banyak lagi muslim yang hanya  berkompetisi, bersaing untuk mendapatkan perhatian dunia. Dan lebih  lebih banyak lagi muslim yang tak mampu bersinergi dengan muslim lain,  bekerjasama untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan dan kejayaan  umat.
Poin keempat. Kesadaran seorang muslim untuk mengemban misi dakwah.
Kader dakwah. Kitakah itu? Entahlah. Saya tak bisa memastikan.
Dakwah  adalah menyeru. Mengajak pada kebaikan. Mengingatkan untuk kembali pada  Allah. Menasehati untuk perbaikan. Memberitahu demi pemahaman.  Mengamalkan untuk pembuktian.
Anehnya, tak semua muslim menyadari ini. Mengapa? Untuk menuju kesadaran keempat, ia harus menyadarkan sisi lainnya.
Allah  Maha Adil. Luar biasa karuniaNya ketika kesadaran untuk mengemban misi  dakwah itu diberikan pada kita. Setiap manusia sudah terpilih untuk  menjalankan perannya masing – masing. Script sudah ditangan, begitu  lahir ke dunia maka peran pun dijalankan sesuai arahan Sang Sutradara.  Sayangnya hanya ada dua peran yang Allah tulis dalam scenario kehidupan  sejak Nabi Adam diciptakan. Manusia yang terpilih untuk memerankan tokoh  kebaikan dan manusia yang terpilih untuk tokoh penguji tokoh kebaikan.  Sederhana.
Nabi Adam diciptakan untuk berbuat kebaikan,  menjadi khalifah, menjadi pasangan yang baik bagi Hawa. Sementara Allah  ciptakan iblis untuk menguji Nabi Adam, menggoda dengan segala upaya  agar Nabi Adam mau memakan buah larangan.
Muhammad SAW,  seorang yatim piatu dengan gelar Al Amin di tengah masyarakat Mekah.  Selalu berkata jujur, di mana suatu hari mendapat peran untuk  menjalankan amanah dakwah. Berbuat kebaikan, mengajak berbuat baik.  Sederhana. Namun selalu ada penguji. Abu Lahab dan Abu Jahal mendapat  kehormatan untuk menjalan peran itu. Dan mereka memainkannya dengan  baik. Sayang, neraka tempat berakhir kedua tokoh Quraisy tersebut.
Abad  demi abad berlalu, lalu muncullah Hasan Al Banna di tengah kerusakan  moral dan ekonomi negeri Mesir di bawah pemimpin yang zalim. Apa yang  beliau dan teman – temannya lakukan? Hanya berbuat baik dan mengajak  untuk berbuat baik. Memberikan pemahaman tentang Islam di merata tempat.  Yang tidak memahami mencoba bertanya dan mengkaji hingga menjadi baik.  Lalu peranan penguji tokoh kebaikan pun datang. Siksaan penjara,  penangkapan tanpa alasan yang jelas hingga maut menjemput melalui peluru  di pagi hari. Semua hanya untuk satu misi, menguji tokoh kebaikan dan  menghentikan mereka untuk berbuat dan mengajak pada kebaikan.  Berhentikah? Tidak.
Di era 80an, jilbab bukanlah tren.  Kajian keislaman bagaikan hal tabu layaknya perzinahan. Di kondisi yang  serba sulit, beberapa muslimah keukeuh memakai jilbab ke  sekolah maupun tempat kerja. Kajian keislaman tetap berjalan tiap  sepekan sekali. Semua satu tujuan. Untuk kebaikan. Di dunia dan akhirat.  Kemudian muncullah pemeran penguji kebaikan. Yang berjilbab dipersulit.  Tak boleh sekolah, dipaksa untuk mmbuka jilbab di tempat kerja.  Alasannya lucu, budaya. Yang mengaji, diintai setiap hari. Berani  mengkritisi, besoknya tak bisa ditemui lagi. Ke mana? Ditangkap polisi,  begitu kata tetangga dan teman – teman. Kenapa? #angkat bahu
Ini  era reformasi di mana semua menjadi bebas bahkan tanpa batas dan sulit  untuk membuat batas yang sebenarnya sudah jelas. Sayang menjadi samar  karena globalisasi. Mungkin ini juga pengaruh pemanasan global yang  menguak lapisan langit pelindung bumi sehingga antara bumi dan matahari  menjadi satu. Bukan saling mendekati, tapi yang satu mencoba menghabisi  yang lainnya. Bukan salah matahari, manusia yang membuatnya demikian.
Harusnya  di era seperti ini, kesadaran untuk berdakwah dalam diri setiap muslim  lebih meningkat. Tak ada yang boleh melarang suatu kebaikan. Setiap  muslim bisa lebih leluasa untuk menjalankan perannya sebagai tokoh baik –  baik untuk menyebarkan kebaikan. Namun rupanya peran penguji tokoh baik  masih ada, hanya saja berubah bentuk. Dimodifikasi sesuai dengan zaman.
(bersambung, karena bingung gimana mau mengakhiri tulisan ini, kalo mau bantu juga boleh hehehe)
No comments:
Post a Comment